DPR: Konstitusi Harus Mampu Beradaptasi dengan Perubahan Zaman

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengatakan tanggal 18 Agustus 1945 merupakan hari bersejarah bagi Indonesia. Karena kata dia, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) diresmikan sebagai konstitusi negara setelah melewati proses panjang perjuangan kemerdekaan, dan menjadi landasan hukum tertinggi yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Konstitusi ini menetapkan struktur pemerintahan, hak-hak dasar warga negara, dan prinsip-prinsip dasar negara, seperti kedaulatan rakyat dan keadilan sosial,” kata Wayan melalui keterangannya pada Senin, 19 Agustus 2024.

Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta

Photo :
  • Istimewa

Menurut dia, pentingnya peringatan Hari Konstitusi ini tidak hanya terletak pada pengakuan terhadap sejarah konstitusi, tetapi juga sebagai momen refleksi untuk mengevaluasi implementasi konstitusi serta relevansinya dalam konteks kekinian. Selain itu, peringatan ini memberikan kesempatan untuk menilai bagaimana konstitusi berfungsi dalam menghadapi tantangan-tantangan baru, dan bagaimana prinsip-prinsip dasar konstitusi dapat terus dijaga serta diperkuat.

“Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, wacana untuk melakukan perubahan UUD 1945 muncul di tengah arus politik ketatanegararaan Indonesia, mulai perubahan yang sifatnya terbatas hingga perubahan yang bersifat menyeluruh. Bahkan, muncul wacana untuk membatalkan Amandemen 1999-2002 dan mengembalikan UUD 1945 ke versi aslinya,” jelas Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini.

Memang, kata dia, Indonesia bertransisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis dengan ditandai Amandemen UUD 1945, antara tahun 1999-2002. Kata dia, opsi amendemen dipilih karena pandangan kesakralan UUD 1945 sebagai dokumen simbolik perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

“Meski sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan UUD 1945, transisi Indonesia masih terlihat sebagai keberhasilan karena amandemen berhasil mendemokratisasi konstitusi dan mengadopsi prinsip konstitusionalisme. Misalnya saja, perubahan yang terjadi menyebabkan adanya checks and balances di Indonesia dengan memberikan kontrol yang lebih besar kepada DPR,” ujarnya.

Menurut dia, sekarang UUD 1945 terdiri dari 194 paragraf (ayat) dan hanya 29 yang asli, selebihnya merupakan amandemen. Setelah hampir 20 tahun pelaksanaan UUD 1945 hasil amandemen tahun 1999-2002, tentu masih ada kelemahan aspek materiil-substantif atau sekedar kekurangan formalitas-teknis.

Salah satunya, kata dia, berkaitan dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 yakni mengenai RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden, tetapi tidak disahkan Presiden. Akibatnya, beberapa undang-undang lahir tanpa pengesahan (tidak ditandatangani) oleh Presiden.

“Polemik perubahan UUD 1945 sampai saat ini juga disebabkan UUD 1945 merupakan UUD sementara (kilat). Para founding fathers (pendiri bangsa) Republik Indonesia menyadari bahwa UUD yang mereka bentuk merupakan UUD yang bersifat sementara, sifat kesementaraan dihadapkan pada berbagai tantangan internal dan eksternal dan mendorong perubahan UUD, walaupun tidak melalui amandemen resmi,” ungkapnya.

Sifat kesementaraan UUD 1945 ini, Wayan berpendapat menandai krisis konstitusional dan krisis politik yang menimbulkan legal risk berupa produk-produk hukum seperti dekrit, surat perintah, Penetapan Presiden yang tentunya belum dikenal dalam hukum positif di Indonesia sesuai UUD 1945.

“Amendemen UUD 1945 yang dilakukan MPR 1999-2002, sebagaimana disampaikan di atas membawa perdebatan terkait dengan watak dan model UUD 1945 pra amandemen dan UUD 1945 pasca amandemen. Watak dan model UUD 1945 sebagai konstitusi akan terkait dengan ide, konsep, teori atau doktrin tentang konstitusi saat perumusan UUD 1945, baik tahun 1945 maupun pada waktu amendemen UUD 1945 dilakukan,” jelas dia.

Di samping itu, Wayan mengatakan Pancasila dan Konstitusi merupakan solusi permasalahan bangsa. Pancasila, kata dia, yang berakar dari kehidupan bangsa Indonesia tersebut pada hakikatnya mengandung pandangan yang mengutamakan harmoni dalam kehidupan masyarakat.

“Sebagai sebuah nilai, Pancasila kemudian diadopsi dalam UUD 1945 (khususnya pembukaan). UUD dipahami bersifat futuristik dalam meletakkan dasar dan memberi arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan di masa depan. Apa yang digariskan oleh UUD tersebut kemudian diuji, apakah dapat berjalan efektif atau tidak dalam gerak dinamis kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dalam perkembangan atau pelakasanaannya UUD dinilai tidak berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan, maka lahirlah tuntutan perubahan,” jelas dia.

Hal ini menegaskan bahwa UUD tidak hadir dalam ruang hampa. Ia diharapkan dapat merespon kebutuhan kekinian dan kedisinian (now and present), sehingga UUD bersifat dinamis dan tidak tabu untuk mengalami perubahan. Tentu saja, perubahan yang dimaksud haruslah sesuatu yang bersifat fundamental bagi bangsa dan negara, yang kemudian diharapkan menjadi milestone bagi arah kehidupan berbangsa dan bernegara berikutnya. 

“Tuntutan perubahan terhadap UUD tidak dapat dilepaskan dari kematangan dan kemapanan suatu negara yang terentang dalam dimensi waktu terbentuknya suatu negara bangsa,” katanya.

Dalam konteks Indonesia, Wayan menyebut UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat tahap dalam kurun 1999 hingga 2002 sejalan dengan desakan reformasi yang begitu kuat saat itu. Perubahan tersebut pada dasarnya dapat dipahami dari perspektif/pendekatan kesejarahan (historical approach) dimana para pendiri bangsa menyusun UUD 1945 dalam kondisi yang tergesa-gesa untuk memenuhi kebutuhan Indonesia merdeka. 

“Sebagai sistem konstitusi, UUD 1945 belumlah sempurna. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pendiri bangsa ketika merumuskannya. Dalam risalah seputar kegiatan perumusan UUD 1945, Bung Karno pernah menyatakan bahwa UUD tersebut bersifat sementara dan kilat,” ungkapnya.

Setelah lebih dari 20 tahun pelaksanaan UUD 1945 hasil perubahan tersebut, ternyata masih dirasakan ada ketimpangan antara normatif UUD dengan praktek sistem ketatanegaraan, maka lahirlah kembali tuntutan perubahan UUD 1945. Hal ini bisa dipahami kembali berdasarkan pendekatan kesejarahan bahwa memang perubahan UUD 1945 di tahun 1999-2002 dilakukan secara reaktif dan terburu-buru akibat tekanan politik reformasi yang begitu kuat. 

Selain itu, perubahan UUD 1945 lebih mengakomodasi berbagai kepentingan politik daripada kepentingan pembangunan sistem ketatanegaraan yang semakin mapan sehingga secara subtansi memiliki keterbatasan dan kelemahan yang tidak dapat dipakai sebagai rujukan konstitusional yang memadai. Pun, desakan perubahan UUD 1945 saat ini juga semakin gencar dilakukan oleh beragam kelompok masyarakat.

Dalam praktik ketatanegaraan yang berjalan, ditemukan sejumlah keterbatasan dan kelemahan dalam sistem ketatanegaraan yang jika ditelusuri bersumber dari pengaturan di dalam UUD 1945. Kata dia, keterbatasan atau kelemahan tersebut menyebabkan proses-proses bernegara berjalan tidak sebagaimana mestinya. Dinamika terhadap konstitusi ini mungkin terasa sulit mengikuti perkembangan zaman. 

Apalagi, lanjut Wayan, konstitusi merupakan kesepakatan lembaga yang membuatnya sesuai keadaan sosial, politik, ekonomi pada saat dibuat. Karena itu, agar menjadi tidak tertinggal dengan kebutuhan masyarakatnya, perubahan konstitusi menjadi suatu yang niscaya. Secara hukum, keniscayaan tersebut pulalah yang menjadikan dasar sebuah konstitusi harus merumuskan pengaturan bagaimana mengubah konstitusi itu sendiri. 

“Namun, dalam kenyataannya, konstitusi yang baik adalah yang bersifat dinamis, mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan mampu menjadi solusi atas permasalahan bangsa. Hal ini untuk mengikuti dinamika perubahan sosial, perkembangan teknologi maupun dampak dari globalisasi,” pungkasnya.