Petrus: Jika Bicara Reformasi, Tokoh Sesungguhnya adalah Megawati Soekarnoputri

Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di sekolah partai PDIP.
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Jakarta, VIVA –  Tanggal 17 Juli diusulkan sebagai hari besar nasional yaitu Hari Reformasi. Alasannya peristiwa 27 Juli 1996 sebagai momentum bangkitnya perlawanan rakyat terhadap era Orde Baru.

Hal itu disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, dalam 'Kudatuli dan Masa Gelap Demokrasi: Refleksi Sabtu Kelabu 27 Juli 1996'. Dia menyebut jika bicara Reformasi maka Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri layak dikedepankan.

"Jika kita bicara reformasi maka tokoh reformasi sesungguhnya adalah Ibu Megawati Soekarnoputri," kata Petrus di Menteng, Jakarta Pusat, dikutip pada Senin, 29 Juli 2024. 

Dia menuturkan Kudatuli adalah singkatan dari insiden kerusuhan 27 Juli 1996 yang mengacu pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDIP yang diketuai Megawati. Ia mengatakan TPDI adalah pihak yang melakukan pendampingan advokasi kepada Megawati dalam melakukan langkah hukum melawan kekuasaan Orde Baru sejak 1996 hingga Presiden Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus.

Photo :
  • Istimewa

Menurut Petrus, perjuangan mengakhiri pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto hingga lahirnya Reformasi 1998 adalah perlawanan rakyat bersama Megawati. Dia pun mengusulkan agar 27 Juli dijadikan sebagai Hari Reformasi. 

"Jika pada 17 Agustus 1945 kita memperingati Hari Kemerdekaan bangsa Indonesia, karena Indonesia terbebaskan dari penjajahan Belanda, maka tanggal 27 Juli 1996 seharusnya dijadikan hari besar nasional sebagai Hari Reformasi," jelas Petrus.

"Karena peristiwa 27 Juli 1996 momentum bangkitnya perlawanan rakyat mengusir penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri yaitu Orde Baru dan Soeharto," ujarnya.

Petrus berpendapat, pilihan jalan Megawati melalui langkah hukum pada Juli 1996 melawan rekayasa politik Orde Baru berupa Kongres PDI Medan dan Peristiwa 27 Juli 1996, hingga jatuhnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998. 

Bagi dia, momen itu harus dijadikan tonggak sejarah perjuangan rakyat melawan Orde Baru dan Soeharto. Ia mengatakan demikian karena berbagai peristiwa yang mendahului, menyertai dan kemudian terjadi dalam perjuangan rakyat sejak Juni 1996 hingga Mei 1998 merupakan rangkaian yang penting bagi kehidupan negara dan bangsa.

"Karena peristiwa-peristiwa itu berhasil mengubah secara fundamental sistem kekuasaan yang otoriter dan anti-demokrasi, menjadi sistem kekuasaan yang demokratis sesuai Pancasila dan UUD 1945," tutur Petrus. 

Lebih lanjut, dia menilai, tragedi 27 Juli 1996 adalah puncak gunung es dimulainya perlawan rakyat bersama Megawati. 

Perjuangan itu menurutnya diawali dengan kegiatan mimbar bebas di halaman kantor DPP PDI. Ikhtiar itu dilakukan secara terbuka dan konstitusional sebagai wujud dari kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. 

"Gerakan mimbar bebas seolah-olah menabuh genderang perang melawan kekuasaan otoriter Orde Baru secara damai, antara lain dimulai dengan sejumlah upaya hukum ke pengadilan, penggalangan opini publik melalui kekuatan media massa yang pro-demokrasi," kata Perus. 

Pun, menurut dia, sangat naif kalau tragedi 27 Juli 1996 dibiarkan hanya sebagai peristiwa lokal, bersifat sporadis. Ia tak ingin peristiwa 27 Juli 1996 itu hanya temporer yang tiba-tiba muncul serta tenggelam, tergantung kepentingan. 

"Padahal tidaklah demikian, karena peristiwa 27 Juli 1996 adalah puncak gunung es, yang melahirkan Reformasi pada 21 Mei 1998. Emosi, kemarahan dan kebingungan Orde Baru dan Soeharto akibat sejarah panjang politik otoriter," ujar Petrus. 

Selain Petrus, tampil sebagai narasumber diskusi publik yang diikuti mahasiswa, kader PDIP dan aktivis 1998 itu adalah Ronald Mulia Sitorus, Firman Tendry, Dhia Prakasha Yoedha, Bob Randilawe, Aidil Fitri dan Marlin Dinamikanto. Diskusi itu dimoderatori oleh Erwin Usman yang merupakan pelaku sejarah Reformasi 1998.