Polemik Presiden Boleh Kampanye, Istana Sebut Banyak Pihak Salah Paham

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menjelaskan tugas-tugas para staf khusus presiden usai mereka bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 2 Desember 2019.
Sumber :
  • VIVAnews/Agus Rahmat

Jakarta - Pihak Istana Kepresidenan menilai banyak pihak yang salah mengartikan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai presiden dan menteri yang boleh memihak dan ikut kampanye pada gelaran Pemilu

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menyebutkan,  pernyataan Presiden Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Rabu, 24 Januari 2024 bahwa Presiden boleh kampanye, telah banyak disalahartikan.

Menurut Ari, saat itu Jokowi menjawab pertanyaan media terkait menteri yang ikut dalam tim sukses.

Ilustrasi Pemilu 2024.

Photo :
  • VIVA

"Dalam merespons pertanyaan itu, Bapak Presiden memberikan penjelasan terutama terkait aturan main dalam berdemokrasi bagi menteri maupun Presiden," kata Ari kepada awak media melalui pesan singkat, Kamis, 25 Januari 2024.

Ari menerangkan,  konteksnya saat itu Jokowi menjelaskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bahwa kampanye pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, dan juga kepala daerah dan wakil kepala daerah.

"Artinya Presiden boleh kampanye, ini jelas ditegaskan dalam Undang-Undang," kata Ari.

Kendati begitu, kata Ari, ada syarat Presiden untuk berkampanye. Mulai dari tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya kecuali pengamanan bagi pejabat, hingga menjalani cuti di luar tanggungan negara.

"Dengan diizinkannya Presiden untuk berkampanye, artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak Presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau pasangan calon tertentu sebagai peserta pemilu yang dikampanyekan, dengan tetap mengikuti pagar-pagar yang telah diatur dalam UU," ujarnya.

Selain itu Ari mencontohkan keberpihakan politik juga terjadi dari presiden sebelumnya seperti Presiden ke 5 dan 6 RI yang ikut serta dalam kampanye untuk memenangkan partai yang didukung. Namun ia menegaskan bagi pejabat publik dan politik harus memperhatikan aturan yang berlaku dalam hak mendukung paslon dan berkampanye.

"Sekali lagi, apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukan hal yang baru. Koridor aturan terkait hal ini sudah ada di UU Pemilu. Demikian pula dengan praktek politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi," ujarnya.