Gerindra Harap Putusan Majelis Kehormatan MK Tidak Timbulkan Kegaduhan Baru

Anwar Usman, Sidang MK Putusan Gugatan Usia Batas Usia Capres Maksimal 70 Thn
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Jakarta – Juru Bicara Partai Gerindra, Munafrizal Manan, berharap putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), terkait laporan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi atas vonis gugatan syarat usia minimal capres dan cawapres, tidak menimbulkan kegaduhan baru. Permintaan tersebut menyusul pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah berjalan. Dimana pemilu legislatif atau pileg dan pemilu presiden atau Pilpres 2024, berjalan serentak. 

“Laporan dugaan pelanggaran etik terhadap para hakim konstitusi tentu harus didasarkan pada bukti yang kuat, dan diharapkan putusan MKMK nanti tidak menimbulkan kegaduhan baru,” kata Munafrizal dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 27 Oktober 2023. 

Munafrizal menjelaskan, setiap perkara yang diadili dan diputus oleh lembaga peradilan, termasuk oleh MK, selalu menimbulkan pro dan kontra. Karena ada pihak yang merasa puas dan juga tidak puas terhadap putusan itu. Ditegaskannya, sebijaksana dan seadil apapun para hakim menjatuhkan putusan, tetap akan ada pihak yang gembira dan ada yang kecewa atas putusan itu. 

“Hampir tidak ada putusan lembaga peradilan yang dapat memuaskan semua pihak,” kata dia. 

Menurutnya, sifat asli kewenangan MK, termasuk wewenang pengujian undang-undang, berkaitan erat dengan dimensi politik. Sehingga penilaian orang atas putusan MK bakal dipengaruhi oleh kecenderungan persepsi, preferensi, dan kepentingan politik orang yang menilainya.

Mantan Wakil Ketua Komnas HAM, itu menekankan bahwa keadilan konstitusional tidaklah bersifat tunggal. Menurutnya, rasa keadilan konstitusional publik dapat berbeda-beda. 

Ditambahkannya, 9 hakim konstitusi adalah simbol 9 jalan keadilan konstitusional. Karena itu, 9 hakim konstitusi merupakan cerminan artikulasi keadilan konstitusional publik yang berbeda-beda itu. 

“Putusan MK bersifat final dan mengikat, karena itu puas atau tidak puas putusan itu harus dihormati secara keseluruhan. Kita harus menghormati putusan para hakim konstitusi yang mengabulkan, dan juga harus menghormati para hakim konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting opinion),” kata Munafrizal.

Lebih jauh dia mengatakan, setiap hakim konstitusi mempunyai independensi yang sama untuk menjatuhkan putusan mengabulkan atau menolak. Pilihan untuk mengabulkan atau menolak antara lain berdasarkan pada keyakinan hakim, dan tiap-tiap hakim konstitusi merdeka untuk untuk memiliki keyakinan itu.

MK, terang Munafrizal, adalah lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Sehingga tidak ada upaya hukum yang tersedia untuk menilai putusan MK itu tidak sah dan kemudian membatalkannya. 

“Wacana tentang putusan MK tidak sah dan karena itu dapat dibatalkan tidak memiliki dasar hukum kuat,” kata dia. 

Ia menilai, Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman perihal hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan bila hakim memiliki kepentingan langsung atau tak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, sulit dijadikan dasar hukum untuk membatalkan putusan MK yang bersifat final. Sebab, kata dia, ada konflik norma hukum antara ketentuan hukum yang lebih tinggi dan ketentuan hukum yang lebih rendah. 

Ditegaskan Munafrizal, dasar hukum sifat putusan MK yang final itu yakni UUD Tahun 1945, dan menurut hierarki peraturan perundang-undangan kedudukan UUD 1945 lebih tinggi daripada UU Kekuasaan Kehakiman. Jadi, kata dia, tidak dapat dan tidak boleh hukum lebih rendah menganulir hukum lebih tinggi.

“Lagi pula tidak ada ketentuan yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme memeriksa ulang perkara yang telah diputus dan membatalkan putusan MK,” imbuhnya. 

Menurut Munafrizal, Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman in concreto hanya dapat dilaksanakan untuk lembaga-lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang sifat putusannya tidak serta-merta final. Karena ada hierarki kelembagaan bertingkat (pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali).

Sementara dalam UUD Negara RI Tahun 1945, UU Mahkamah Konstitusi, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang di MK, tidak ada yang mengatur mengenai prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang serta putusan ulang atas perkara yang sudah diputus para hakim konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan putusan itu sudah diucapkan dalam Sidang Pengucapan Putusan.

Di sisi lain, dia mendorong semua lembaga peradilan, termasuk MK, dalam menangani perkara wajib mempedomani hukum acara yang berlaku sebagaimana mestinya.

Sebab, ujarnya, perdebatan yang muncul tentang putusan MK itu menunjukkan perlunya pembenahan internal MK. Yaitu menyempurnakan hukum acara dan tata kelola penanganan perkara yang lebih jelas dan tegas agar hal seperti itu tidak terjadi lagi. Serta, bilamana terjadi lagi maka sudah tersedia ketentuan solutif untuk menyelesaikannya.

“MK juga perlu membuat pedoman baku tentang penerapan judicial activism dan judicial restraint sebagai rambu bagi para hakim konstitusi agar konsistensi seluruh putusan MK dan kepastian konstitusional selalu terjaga,” imbuhnya.