Sindir MK Sulit Pulihkan Kredibilitas, Dosen UI: Kepercayaan Publik Kadung Terluka
- VIVA/M Ali Wafa
Depok - Putusan Mahamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan syarat bakal capres dan cawapres terus menuai kritikan. Dari kalangan akademisi pun mempertanyakan MK mengabulkan gugatan mahasiswa UNS tersebut.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Titi Anggraini menganalisa putusan MK jadi suatu tendensi politik yang tinggi karena adanya perbedaan pendapat yang kemudian berubah dalam waktu singkat.
Padahal, ia menyoroti MK dalam putusannya dalam perkara pertama menolak gugatan yang diajukan PSI soal batas usia capres dan cawapres turun jadi 35 tahun.
“Dengan komposisi 7 hakim menolak, dan satu menyatakan itu tidak memenuhi legal standing dan satu dissenting opinion menyatakan bahwa bisa dikabulkan. Dan, bisa ada pengecualian untuk yang pernah menjadi pejabat negara melalui pemilihan langsung baik melalui pemilu maupun pilkada,” kata Titi saat diskusi publik di FH UI, Kamis, 19 Oktober 2023.
Namun, dalam waktu singkat, pendapat tersebut diadopsi oleh mayoritas hakim lain dalam perkara Nomor 90 yang digugat mahasiswa UNS. Dalam putusan itu, ada tiga hakim dengan tambahan dua tambahan hakim lain mengecualikan syarat capres dan cawapres untuk bagi yang pernah jadi kepala daerah.
“Jadi, di situ terlihat bahwa kepentingan politis atau bergesernya pertimbangan hukum karena pengaruh aspek politik praktis itu menjadi sangat muncul. Dan, dissenting opinion Saldi Isra ataupun Arief Hidayat memperteguh itu,” jelas Titi.
Menurut dia, dengan putusan tersebut jika dilihat dari sisi substansi sebenarnya juga bermasalah. Dia mengatakan demikian karena memperlihatkan pertimbangan hukum yang tidak solid dan sembrono dalam pengubahan pendirian hakim antara putusan perkara Nomor 29 dan Nomor 90. Pun, di sisi lain, ia menyoroti ada masalah internal yang kuat di dalam kelembagaan MK.
“Makanya saya mengatakan bahwa putusan 90 ini memperlihatkan terjadinya politisasi yudisial atau politisasi atas MK yang bahkan diakui sendiri oleh hakim yang ada di dalam MK," ujar Titi.
"Nah, refleksinya adalah kalau hakim MK saja yang memang berkutat dengan perkara itu merasakan ada atmosfer politik di dalam perkara ini, apalagi publik,” sebut Titi.
Titi mengkritisi dengan putusan tersebut, MK sedang mempertontonkan inkonsistensinya secara gamblang. Selain itu, MK tak mampu membangun argumen yang kokoh soal dua pertimbangan hukum yang seolah-olah terpisah satu sama lain. Padahal, putusan itu memiliki suatu substansi yang sama.
“Saya selalu mengatakan ini menjadi pil pahit yang harus kita semua telan. Dan, saya merasa nampak sulit bagi MK untuk kemudian secara cepat memulihkan kredibilitas dan kepercayaan publik yang kadung terluka atas putusan itu," jelas Titi.
Meski demikian, ia mengingatkan agar putusan perkara No 90 tak membuat penyakit kronis bagi Pemilu di Tanah Air.
"Karena peran MK masih sangat besar dalam penyelesaian perselisihan pilpres, hasil pemilu legislatif dan juga pilkada,” ujar Titi.
Untuk memulihkan kredibilitas MK dan kepercayaan publik maka perlu dilakukan pemeriksaan etik yang serius, terbuka dan transparan. Sehingga dapat menjadi forum publik untuk mengukur keseriusan dalam memproses dugaan pelanggaran etik. Karena hanya dengan itulah cara untuk memulihkan dan mempercayai apakah MK.
“Hanya dengan cara itu kita bisa memulihkan atau mempercayai MK apakah terus mengikuti pola dia terhadap putusan No 90?,” tutur Dewan Pembina Perludem tersebut.
“Ataukah kita bisa punya harapan terkait peran MK dalam pemilu 2024 terutama dalam penyelesaian hasil pemilu dan pilkada, termasuk pula potensi pengujian materi UU Pemilu baru di MK,” ujarnya.