Mengeroyok PDIP: Head to Head Jokowi Vs Megawati

Didik Rachbini (foto/Nur Terbit/Univ Paramadina)
Sumber :
  • vstory

Jakarta – Politik di Indonesia bungkusnya demokrasi modern, tetapi isinya sangat tradisional, dan bahkan buruk karena tidak bisa ditebak.  Kadang-kadang bercampur klenik. Tidak ada acuan ideologis, tidak juga ada dalam kerangka akademis “text book”, yang contohnya kebanyakan Barat.

Siapa yang menyangka bahwa Jokowi secara samar dan diam-diam membuat kendaraan koalisi, yang menyebabkan “head to head” dengan Megawati.  Koalisi ini kemudian menjadi kekuatan politik yang nyata. Ini terjadi setelah PAN dan Golkar bergabung atas “titah politik” Jokowi.

Kekuatannya sebagai presiden dan popularitas yang tinggi karena kucuran subsidi yang besar dari APBN kepada rakyat bisa mewujudkan koalisi baru yang didukung dengan titah politiknya. Jokowi memanfaatkan popularitas dan kekuatan politiknya untuk menjadi king maker di sudut sendiri, yang kemudian berhadapan dengan PDIP.

Tetapi kita tidak tahu pasti kekuatan ini bisa saja melemah setelah penetapan Capres selesai. Kemudian melemah lagi menjelang periode kedua berakhir.

Presien Jokowi bersama Ketua Dewan Pengarah BRIN Megawati Soekarnoputri

Photo :
  • ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/Rusman

Kongsi Jokowi-Megawati bubar dan pecah karena tidak nyaman menjadi petugas partai. Status petugas partai ini terus berjalan, atau tepatnya, partai mensubordinasi presiden secara terus-menerus di muka publik. Jokowi-Megawati berhadap-hadapan secara politik dan keduanya telah menjadi king maker untuk calonnya masing-masing. 

PDIP sekarang berada di sudut sendiri dan berhadapan dengan banyak lawan. Semua partai besar dan menengah sudah hampir pasti bergabung dengan koalisi sendiri. Partai Golkar, PAN, Demokrat, dan PKS sudah berlabuh dalam koalisi masing-masing. Mitra koalisi PPP tidak terlalu signifikan sehingga nanti berpengaruh terhadap elektabilitas Ganjar Pranowo.

Megawati sekarang menghadapi banyak lawan, yang berat, baik Surya Paloh dan SBY.  Sekarang lawan baru yang mengejutkan adalah Jokowi sendiri, yang berhasil mewujudkan koalisi kelas berat. PDIP semakin sulit dan berat. Banyak sekali kritik atas perubahan ini karena masalah PDIP sendiri, yang dianggap terlalu arogan.

Jangan berharap pemerintah memikirkan rakyat. Pemerintahan sudah setengah bubar dengan polah dan format politik cawe-cawe seperti ini. Tahun 2023-2024 ini adalah tahun terburuk bagi kebijakan ekonomi, sosial, pendidikan, dll. Jangan berharap ekonomi akan tumbuh 6 persen atau 7 persen seperti janji kampanye dulu.

Setelah titah Jokowi,  Golkar dan PAN resmi bergabung dengan Gerindra dan PKB, maka semakin jelas bahwa koalisi Pemerintahan pecah berkeping-keping menjadi 3 bagian. Ini terlihat dari konfigurasi 3 koalisi partai dengan bakal calon presidennya masing-masing.  Presiden dan menteri-menterinya tidak mungkin bekerja sepenuh hati. Tenaga, pikiran dan waktunya habis tercurahkan untuk perang politik untuk kemenangan 2024.

Namun demikian, ada yang perlu dicatat bahwa demokrasi yang mundur dan buruk sekarang ini hampir masuk jurang, ketika kekuatan yang berkuasa bermanuver untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi 3 periode di dalam UUD 1945. Semua partai tunduk terhadap gagasan keblinger ini dan sudah tinggal mewujudkannya dalam sidang paripurna MPR.

Tetapi Megawati dan PDIP sebagai partai terbesar menolak takut Jokowi mengalami nasib seperti Bung Karno. Dalam hal ini Megawati telah menyelamatkan demokrasi dari provokasi politik untuk amandemen undang-undang dasar, yang sudah digiring menuju 3 periode. 

Politik sekarang bergerak dengan kemauan dan kepentingan elit pemimpinnya. Para pendukung Capres ke depan sebaiknya tidak usah militan radikal dengan membangun peradaban politik jahiliyah dan demokrasi bajingan, yang  dilakukan dengan cara-cara menghasut, menjadi buzzer pemecah belah warga bangsa, dan sejenisnya. Itu telah terjadi dalam pilpres yang lalu dimana sesama warga dibelah dan membelah menjadi kutub Cebong dan Kampret.

Mengapa? Sekarang cebong dan kampret bingung sebab pimpinannya berganti peran. Yang kampretnya menjadi cebong dan yang cebong menjadi kampret.  Sebagai contoh, PSI sedang bingung dan pusing tujuh keliling apakah ikut Ganjar atau Prabowo?

Setelah Jokowi membentuk koalisi baru berhadapan dengan Megawati, maka tidak ada lagi cebong dan kampret. Permusuhan di masa lalu tidak perlu lagi karena pemimpinnya memang tidak dalam posisi head to head tapi saling merangkul untuk kepentingan dirinya masing-masing. 

Prof. Didik J Rachbini                                                    Rektor Universitas Paramadina