Bawaslu Sebut Modus Politik Uang Kian Beragam, Tak Hanya dengan Uang Tunai tapi Juga Elektronik
- VIVA/Zendy Pradana
Bandung – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia berupaya menjalin kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mencegah praktik politik uang elektronik menjelang Pemilu 2024.
"Bawaslu sedang menjajaki dan berupaya sejak awal 2023 untuk membangun kolaborasi, kesepahaman bersama dengan PPATK dan OJK, karena situasi hari ini soal transaksi elektronik menjadi sesuatu tantangan nyata dan kita harus punya strategi mencegahnya," ujar Anggota Bawaslu Lolly Suhenty dalam peluncuran "Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 - Isu Strategis Politik Uang" di Bandung, Jawa Barat, Minggu, 13 Agustus 2023.
Berdasarkan pemetaan Bawaslu, terungkap fenomena maraknya praktik politik uang secara elektronik menjadi sinyal ancaman bahaya, hal itu makin meningkat dalam Pemilu. "Dengan praktik politik uang secara langsung saja tidak mudah dilawan, apalagi dengan praktik elektronik," ujarnya.
Ia mengungkapkan pencegahan melalui kampanye terbuka dengan memberi pesan bahwa pemberian uang secara elektronik adalah bagian dari pelanggaran pemilu yang harus digalakkan di tingkat masyarakat.
Sebab, makin beragamnya modus atau cara pemberian uang atau barang, maka langkah-langkah pencegahan dituntut lebih masif dan adaptif dengan perubahan zaman.
Persoalan lain dalam mengungkap politik uang adalah minimnya bukti dan saksi dalam laporan politik uang. Maka tindak lanjut laporan kurang optimal dan berhenti di tengah jalan.
Partisipasi masyarakat, menurutnya, menjadi modal bagi upaya pencegahan dan penindakan politik uang. Dengan terus melakukan sosialisasi kepada publik tentang bahaya dan kerugian politik uang terhadap demokrasi di Indonesia, kesadaran masyarakat makin menguat dan lebih optimal terlibat bersama Bawaslu melakukan pencegahan politik uang.
Penguatan pengetahuan kepada masyarakat melalui pengawasan partisipatif menjadi salah satu kunci penguatan partisipasi masyarakat.
"Keterlibatan masyarakat juga perlu didukung komitmen pemangku kepentingan, baik penyelenggara pemilu, peserta pemilu beserta tim sukses, serta pemerintah untuk bersama-sama menjadikan pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 dilakukan secara jujur dan adil," ucapnya.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ratna Dewi Pettalolo mengungkapkan berdasarkan data penanganan pelanggaran di Pemilu 2019 politik uang menjadi posisi ketiga. Posisi pertama diduduki oleh netralitas ASN.
Untuk itu, ia berharap Pemilu 2024 bisa bebas dengan politik uang. Namun, fakta di lapangan tentu tak semudah itu. Pasalnya, di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi akan menjadi potensi politik uang tinggi pula.
"Misalnya, di Pandeglang, Banten, masyarakat di Pandeglang bilang kalau di sana angka partisipasi pemilih sangat dipengaruhi politik uang. Kalau masyarakat diberikan uang maka angka partisipasi tinggi. Ini jadi catatan khusus buat kita," ungkap Ratna.
Oleh karena itu, ia meminta Bawaslu dapat menyiapkan pendekatan khusus terhadap pencegahan politik utamanya di daerah yang memiliki angka kemiskinan tinggi.
Untuk meminimalisasi politik uang perlu dilakukan dengan pemetaan komprehensif mulai dari regulasi, politik lokal hingga budaya di masing-masing daerah.
Ia menyebut, ada daerah yang memiliki budaya dalam membagikan uang pada saat pesta besar yang bisa terjadi juga saat pemilu ataupun pemilihan kepala daerah.
"Apakah ini bisa masuk kategori pelanggaran politik uang? Padahal, ini adalah bagian dari budaya yang sudah ada, sudah tumbuh dan dipelihara. Ini jadi problem buat kita kalau kita biarkan terjadi ini akan jadi mengganggu proses pemilu kita. Kalau penindakan kita harus temu kenali apakah ini benar bagian dari mempertahankan budaya atau bagian dari memengaruhi pemilih pada masa kontestasi," tuturnya. (ant)