Qodari Sebut Desain UUD 1945 Jadi Penyebab Polarisasi Ekstrem di Masyarakat

Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari menyampaikan hasil survei.
Sumber :
  • Ridho Permana

VIVA Politik – Polarisasi atau terbelahnya masyarakat karena perbedaan sikap politik bukan lagi dianggap mitos, tetapi nyata dan hidup di masyarakat Indonesia. Mengutip hasil survei Laboratorium Psikologi Politik UI, menunjukkan bahwa masyarakat terpolarisasi menjadi 2 kelompok dengan ukuran proporsional (43% vs 57%). 

Kluster 1 memiliki posisi relatif pada ujung spektrum kiri yaitu kelompok pro Jokowi yang relatif sekuler ke arah moderat, puas terhadap kinerja pemerintah, relatif tidak berprasangka terhadap kekuatan ekonomi asing dan aseng. Sementara kluster 2 memiliki positif relatif pada ujung spektrum kanan dalam ideologi politik dimensi keagamaan. 

Kampanye PKB di Pemilu 2014. (Foto ilustrasi).

Photo :
  • ANTARA FOTO/Yusran Uccang

Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari sepakat bahwa polarisasi bukan sekedar mitos tapi nyata di masyarakat. Ia mengungkapkan tiga variabel yang menimbulkan polarisasi politik. Pertama, pemikiran dan aksi para tokoh politik; Kedua, pembelahan (cleavages) di Indonesia; Ketiga, problem desain konstitusi soal ketentuan pemenang 50% +1 dalam pilpres

Khusus tentang ketentuan pemenang 50% +1 dalam pilpres, Qodari menyebut hal itu sebagai problem desain konstitusi. Sehingga dinilai sebagai pemicu lahirnya polarisasi politik ekstrem di masyarakat. 

“Jadi kita ini mohon maaf, saya melihat salah salah satu problemnya ada di desain konstitusi kita, dengan berat hati, di mana problemnya, di aturan mengenai pemenang pilpres harus 50%+1,” ujar Qodari dalam keterangannya, Senin 20 Maret 2023.

Dikatakan Qodari, pada Pilpres 2024 mendatang meskipun diikuti oleh lebih dari dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden, pada akhirnya akan mengkerucut menjadi hanya dua pasang calon.

Pasalnya, tambah Qodari, untuk meraih suara yang diamanatkan konstitusi tergolong tidak mudah diraih oleh masing-masing paslon capres-cawapres. 

“Dengan aturan 50%+1 maka calon dipaksa ujungnya menjadi dua, mau nanti 2024 ini ada 4 pasang 3 pasang itu ujungnya pasti 2, karena sangat sulit bagi calon manapun untuk menang dalam satu putaran,” paparnya.

Dari beberapa hasil survei, kata Qodari, tiga nama papan atas calon presiden 2024 antara Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan suara dukungannya relatif sama, tidak ada perbedaan yang signifikan.

“Karena multi partai dan calonnya pada hari ini ada tiga calon yang kekuatannya relatif sama Ganjar, Anies, Prabowo itu elektabilitasnya nggak beda-beda jauh, sulit untuk bisa mencapai 50% + 1 dalam satu putaran,” urai Qodari.

“Ujung-ujungnya nanti akan dua putaran, entah Ganjar lawan Anies Ganjar lawan Prabowo atau Prabowo melawan Anies kalau itu terjadi pasti nanti akan dibelah lagi seperti ini, calon Islam vs non Islam,” imbuhnya.

Lanjut Qodari, ia khawatir saat terjadi dua pasang calon maka polarisasi dari dimensi agama akan kembali tersematkan seperti Pilpres 2019 lalu. “Kalau Ganjar lawan Anies, Ganjar calon Kristen, Anies calon Islam pasti gitu, kalau Anies lawan Prabowo, Prabowo jadi calon Kristen, Anies calon Islam.” ucapnya.

Petugas KPPS menunjukkan surat suara pemilihan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang sudah tercoblos di Pemilu 2019. (Foto ilustrasi)

Photo :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Berkaca pada Pilpres 2019, kata Qodari, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sudah jelas dari keluarga muslim masih saja dicap sebagai non muslim, keturunan PKI dan seterusnya. Hal itu bisa terjadi pada Prabowo Subianto dimana mayoritas berasal dari keluarga non muslim.

“Jokowi yang gak ada Kristennya bisa jadi calon Kristen, nah Prabowo ibunya Kristen, kakaknya Katolik, adiknya Kristen. Katakanlah Ganjar lawan Prabowo, Ganjar jadi Kristen, Prabowo balik jadi Islam, apa gak lucu kita. Sementara kita sudah tahu bahwa memang itu yang dimakan, bukan hanya oleh masyarakat tetapi juga oleh elit,” sesalnya.

Selain pilpres, Qodari juga menyatakan problem desain konstitusi juga terjadi pada Pilkada DKI Jakarta yang mengharuskan 50%+1 untuk keluar sebagai pemenang.

“Pilkada Jakarta, kenapa Pilkada Jakarta panas? Gara-gara UU khusus Jakarta lex specialis yang mengatur bahwa pemenang gubernur itu harus 50% berbeda dengan aturan pilkada lainnya,” kata Qodari.

Oleh sebab itu, Qodari berkesimpulan terjadinya polarisasi ekstrem karena berakar dari konstitusi, untuk mencegahnya harus dilakukan perubahan. “Jadi menurut saya dari kacamata ilmu politik salah satu penyebab atau pengkutuban yang ekstrem di kita itu adalah desain konstitusi atau desain aturan dan itu harus diubah. Kalau konstitusi lewat amandemen UUD 1945,” tukas Qodari.