Ketua Bawaslu Prediksi Perseteruan Cebong vs Kampret Masih Terjadi pada Pemilu 2024
- VIVA/Rosikin
VIVA Politik – Perseteruan sengit antar-pendukung pasangan calon presiden-wakil presiden, seperti halnya populer dikenal Cebong vs Kampret pada pemilu 2019, diprediksi terulang lagi pada pemilu tahun 2024, menurut analisis Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI.
"Kalau [pasangan] calon presiden dua, kemungkinan terjadi [lagi perseteruan Cebong vs Kampret]; capres tiga juga kemungkinan terjadi," kata kata Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dalam wawancara eksklusif dengan VIVA pada program The Interview di Jakarta pada Selasa, 17 Januari 2023.
Jika pasangan capres-cawapres lebih dari dua, menurut Bagja, kemungkinan pembelahan masyarakat masih cukup besar karena pemilu presiden akan digelar untuk tahap kedua sampai didapat satu pasang yang memperoleh dukungan suara terbanyak. Pada saat itulah, katanya, perselisihan sengit seperti Cebong vs Kampret akan terjadi.
Masalahnya, menurutnya perseteruan itu tak hanya berupa perdebatan melainkan juga memantik maraknya penyebaran berita bohong atau hoaks, fitnah, dan kampanye hitam (black campaign). Semua itu berpotensi memicu konflik sosial dan menggangu stabilitas politik nasional.
Bagja mengingatkan satu contoh penyebaran hoaks yang menghebohkan publik nasional pada pemilu 2019 berupa isu ditemukannya sejumlah kontainer berisi 7 juta surat suara pemilu di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Isu itu, yang kemudian dipastikan bohong, katanya, nyaris saja memicu gejolak sosial karena dianggap bagian dari kecurangan pemilu. Jika isu itu tidak segera diklarifikasi dan dibuktikan keliru, akan memicu lebih banyak lagi hoaks dan spekulasi.
Pada pemilu 2024, menurutnya, potensi tersebut cukup besar karena kompetisi akan lebih terbuka dan tidak ada kandidat petahana sehingga tak ada yang lebih mendominasi.
"Cebong [vs] kampret, aduh, mengerikan, dan sangat membelah [masyarakat], bukan hanya di media sosial yang ter-publish, bahkan media sosial yang kita gunakan dalam internal, komunikasi dengan keluarga, WA (Whatsapp) group. Itu kan terjadi, dan mengerikan," katanya.
Mereka yang terpapar hoaks, termasuk yang kemudian terhasut kabar bohong tersebut dan menyebarkan ulang, kata Bagja, bukan hanya kalangan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Dalam kasus yang sama pada pemilu 2019, dia mengingatkan, ditemukan penyebar hoaks yang bahkan bergelar doktor atau berpendidikan tinggi.
"Harusnya, prediksinya, yang strata pendidikannya lebih bagus [menjadi] lebih bijak. Ini agak aneh, memang, ini paradoksnya: ada satu, dua-lah, tidak banyak, tapi ada satu, dua, dan itu terbawa sampai kemudian yang bersangkutan," katanya.