Ide Perpanjangan Jabatan Presiden Dinilai Jadi Ancaman Konsolidasi Demokrasi

Penghitungan surat suara Pemilu 2019 (Foto ilustrasi).
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA Politik - Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi beberapa kali mencuat menuju Pemilu 2024. Ide perpanjangan jabatan itu dinilai sebagai upaya yang mau menyelewengkan demokrasi.

Demikian disampaikan dalam acara peringatan peristiwa Malapetaka 15 Januari atau Malari tahun 1974. Peringatan itu bersamaan dengan HUT Indonesia Demokrasi Monitor (Indemo) di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Senin, 16 Januari 2023.

Aktivis yang juga pendiri Humanika, Bursah Zarnubi, menyampaikan tema peringatan acara kali ini adalah Menolak Lupa: Pertahankan Demokrasi. Menurut dia, tema itu jadi penting karena saat ini ada upaya yang mau menyelewengkan demokrasi. 

Dia mengkritik ide penundaan pemilu dan perpanjangan 3 periode masa jabatan saat ini kembali digaungkan. Dia menekankan, mendorong penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden adalah upaya merusak demokrasi.

Pun, aktivis yang juga pelaku peristiwa Malari Hariman Siregar menilai aneh munculnya ide jabatan Presden 3 periode dan tunda pemilu dengan alasan faktor ekonomi. 

"Kalau nggak ada duit kenapa malah bangun IKN?," kata Hariman, dalam keterangannya, Senin, 16 Januari 2023.

Sementara, akademisi ilmu politik Sidratahta Mukhtar, menyoroti ide perpanjangan masa jabatan presiden sebagai ancaman dalam konsolidasi demokrasi. Kata dia, mestinya setiap presiden mendorong agar demokrasi jadi lebih matang.

Menurut dia, Presiden harus bisa beri arahan demi mendukung kematangan demokrasi tersebut. Ia mencontohkan sikap yang pernah dilakukan Presiden ke-3 RI BJ Habibie dan Presiden ke-4 RI Abdurahman Wahid atau Gus Dur.

Acara peringatan peristiwa Malari.

Photo :
  • Istimewa

Pun, akademisi ilmu hukum Chudri Sitompul mengatakan tokoh Nazi Jerman Adolf Hitler dipilih secara demokratis. Tapi, Hitler menggunakan demokrasi tanpa batasan sehingga membuatnya jadi otoriter.

Maka itu, menurutnya penting demokrasi tak diselewengkan dengan pembatasan kekuasaan dan adanya kontrol dari rakyat. Lalu, kata dia, penghormatan kepada hak asasi harus terus dipertahankan dan dikembangkan. "Bila ada penyelewengan maka masyarakat sipil yang haru berdiri di barisan terdepan," tutur Chudri.

Kemudian, pakar hukum tata negara Refly Harun menyampaikan bahwa ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen mesti dihapus. Menurut Refly, Presiden bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk menghapus aturan tersebut. 

"Bila desakan dari masyarakat sangat kuat dalam waktu dekat ini pun Presiden bisa keluarkan Perppu itu," jelas Refly.