Politisi PKB Sindir Penggugat UU Pemilu di MK: Terlihat Irrasional, Absurd dan Kacau

Warga memasukkan surat suara saat Pemilu 2019 (Foto ilustrasi).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

VIVA Politik – Mahkamah Konstitusi (MK), diyakini bakal menolak uji materi Undang-Undang atau UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait sistem pemilu Indonesia, proporsional terbuka. Demikian disampaikan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim.

Diketahui sejumlah pihak sedang mengajukan uji materi atau judicial review (JR) pasal-pasal dalam UU Pemilu ke MK.

"Saya haqqul yakin, MK tidak akan mengabulkan sebagian atau keseluruhan dari petitum yang diajukan para penggugat," kata Luqman di Jakarta, Jumat, 6 Januari 2023.

Menurut Luqman, para penggugat tidak paham soal kepemiluan. Hal itu terlihat dari gugatan mereka. Menurut dia, pihak yang menggugat sistem pemilu tersebut tidak masuk akal.

"Kurang memiliki penguasaan ilmu kepemiluan, gagal memahami alur pemilu, sehingga petitum yang mereka ajukan terlihat irrasional, absurd dan kacau," kata Luqman.

PEMBACAAN PUTUSAN SIDANG MK

Photo :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok

Luqman menyebut, apabila petitum yang diajukan penggugat dikabulkan MK, maka akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang.

Hal itu dikarenakan penggugat meminta agar Pasal 420 UU Pemilu huruf (c) diubah menjadi “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan nomor urut.”

Adapun naskah asli UU berbunyi: “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak”.

Kemudian, para penggugat mengajukan agar Pasal 420 huruf (d) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Naskah asli huruf (d) Pasal 420 UU Pemilu ini berbunyi: “nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi.”

Luqman menjelaskan, pasal 420 UU Pemilu ini mengatur tata cara konversi suara menjadi kursi partai politik di satu daerah pemilihan dengan metode Sainte Lague, yakni suara sah yang diperoleh setiap partai dibagi dengan bilangan ganjil mulai dari 1, 3, 5, 7 dan seterusnya.

"Perhitungan ini untuk menentukan apakah partai politik berhak mendapatkan alokasi kursi parlemen dan berapa jumlah kursi yang berhak diperoleh," ujarnya.

Karena itu, dikatakan Lukman, yang berhak atau tidaknya partai politik mendapatkan kursi parlemen didasarkan pada nilai terbanyak hasil suara sah partai politik yang telah dibagi dengan angka 1, 3, 5, 7 dan seterusnya dan bukan didasarkan pada nomor urut partai politik.

"Di sini, terlihat para penggugat mengalami lompatan logika, terburu-buru, tidak cermat, tidak memahami alur pemilu sehingga mengalami kekacauan pemahaman dari substansi aturan pembagian kursi kepada partai politik tiba-tiba lompat kepada siapa calon yang berhak menempati kursi tersebut," kata Luqman.

Luqman kembali menegaskan, menghapus huruf (d) Pasal 420 ini, akan menyebabkan kebuntuan dan kekacauan pemilu. Karena tidak ada lagi aturan yang menjadi pedoman bagaimana membagi kursi parlemen kepada partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.

"Dengan demikian, jika MK mengabulkan petitum para penggugat terhadap Pasal 420 huruf (c) dan (d), maka Pemilu 2024 mendatang tidak bisa menghasilkan kursi parlemen bagi semua partai politik peserta pemilu. Kacau, kan," ujarnya.

Meski begitu, Luqman percaya dengan keilmuan dan integritas hakim-hakim MK. Para hakim MK pasti memahami dengan komprehensif seluruh petitum yang diajukan para penggugat dan akibat-akibat apa yang akan ditumbulkan bagi pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang.

"Dengan demikian, maka pelaksanaan Pemilu 2024 tetap akan menggunakan sistem proporsional terbuka. Tidak akan berubah menjadi proporsional tertutup sebagaimana keinginan para penggugat," imbuhnya.