Soroti Perppu Cipta Kerja, Hasan DPD: Pemerintah Lari dari Tanggungjawab
- Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden
VIVA Politik - Langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terus disorot. Banyak kritik kebijakan Jokowi tersebut karena dinilai keliru.
Menanggapi itu, Ketua Komite III DPD RI Hasan Basri menilai penerbitan Perppu tersebut sebagai bentuk inkonstitusional terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut dia, yang mesti dilakukan pemerintah yakni memperbaiki UU No 11 Tahun 2020 yang inkonstitusional bersyarat sesuai dengan arahan MK bukan malah mengganti dengan Perppu.
Dalam pertimbangan putusan MK, UU Cipta Kerja cacat formil. Hal itu lantaran tata cara pembentukannya tak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang.
Hasan menyebut dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Dia menaruh perhatian terhadap perppu tersebut karena dirinya merupakan salah satu koordinator mewakili DPD saat proses pembentukan RUU Cipta Kerja. Hasan mengaku sangat kecewa. Menurut dia, hal itu karena dengan diterbitkannya Perppu, maka dipastikan DPD tak akan dilibatkan lagi.
Menurut Hasan, dengan pemerintah mengeluarkan perppu maka menghilangkan kewenangan legislasi DPD RI. Sebab, perppu akan jadi sah bila disetujui DPR RI.
“Kami akan mengusulkan agar DPD RI dapat melakukan gugatan antar lembaga jika nantinya perppu ini disetujui DPR RI. Alasanya karena DPD RI tidak dilibatkan oleh pemerintah dan DPR,” kata Hasan dalam keterangannya, Kamis, 5 Januari 2023.
Senator asal Kalimantan Utara ini juga mempersoalkan penerbitan Perppu Cipta Kerja. Ia menekankan hal tersebut karena tak ada kondisi kegentingan yang memaksa. Ia pun menukil amanat ketentuan Pasal 22 UUD NRI 1945.
Merujuk putusan MK No.138/PUU-VII/2009 ada tiga syarat untuk memenuhi ihwal 'kegentingan memaksa', yaitu (1) ada masalah hukum yang mendesak dan butuh ditangani sesegera mungkin, (2) ada hukum tetapi tidak menyelesaikan masalah atau masih menimbulkan kekosongan hukum, dan (3) butuh proses yang cepat untuk menghasilkan produk hukum.
“Kenyataannya, tidak ada hal yang mendesak secara ekonomi dalam konteks masyarakat secara umum,” kata Hasan.
Lebih lanjut, dia juga mempertanyakan kegentingan apa yang sifatnya memaksa sehingga pemerintah mesti mengeluarkan Perppu. Ia menyebut, alasan pemerintah akan ketidakpastian ekonomi global yang melandasi penerbitan Perppu ini cenderung tidak masuk akal.
“Jika terkait kondisi global ada inkonsistensi. Jika soal capaian Presiden Jokowi baru saja membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi di antara negara G20. Tapi, jika jadi alasan penerbitan Perppu seolah-olah kondisi Indonesia darurat dan underperform,” ujarnya.
Ia pun menekankan mengenai rentang waktu dua tahun yang diberikan oleh MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Bagi dia, hal itu membuktikan penerbitan perppu bukan hal mendesak. Dia menyindir jika definisi kebutuhan mendesaknya adalah kepentingan investor dan pemerintah semata.
“Tapi, di titik ini saja sudah salah. MK pun jelas mengamanatkan pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan mengeluarkan Perppu,” lanjut Hasan.
Menurut dia, pemerintah dengan perppu tersebut seperti lari dari tanggungjawab karena tak sesuai dengan perintah MK.
“Bahkan bisa dibilang pemerintah lari dari tanggung jawab untuk memperbaiki UU tersebut. Artinya, penerbitan Perppu ini menunjukkan adanya upaya melanggar putusan MK,” tutur Hasan.
Maka itu, kata dia, perppu itu bisa digugat ke MK oleh publik maupun pihak yang merasa kurang puas. Gugatan bisa dilakukan dari segi proses administrasi pembentukan Perppu hingga materi muatannya.
Untuk diketahui, perppu berisi 1.117 halaman dan 186 pasal ini bertujuan menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Dalam putusannya, MK menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat selama dua tahun, sehingga membuat UU tersebut belum bisa diimplementasikan.