Tak Kunjung Tuntas, DPR Minta Jokowi Reformasi Total Soal Beras dan Pupuk Bersubsidi

Ilustrasi beras.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

VIVA Politik – Masalah beras hingga pupuk di Indonesia, sampai saat ini belum bisa dituntaskan. Baik mengenai data hingga soal impor. Bahkan hampir tidak ada solusi yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengatasi pupuk bersubsidi yang sangat menyulitkan para petani.

Anggota Komisi VI DPR RI, Dr Evita Nursanty, menilai Presiden Joko Widodo perlu untuuk melakukan reformasi total menyeluruh untuk atasi persoalan tersebut. Dengan membangun strategi baru untuk mengatasinya.

“Masalah beras dan pupuk ini sudah sangat lama dan tidak tuntas-tuntas. Kita butuh reformasi menyeluruh mulai dari data, kelembagaan, pupuk-benih-pestisida, teknologi dan alat pertanian, kredit pertanian, harga, manajemen stok dan lainnya. Kemudian aneh juga ketika kita mau meningkatkan produksi tapi alokasi dan anggaran untuk pupuk bersubsidi malah menurun dari tahun ke tahun. Jadi banyak hal kontraproduktif, sehingga kita sarankan adanya strategi baru nasional,” kata Evita, dalam keterangan persnya untuk pernyataan akhir tahun, di Jakarta, Selasa 27 Desember 2022.

Persoalan yang dihadapi para petani saat ini, menurutnya tidak pernah bisa dituntaskan. Bahkan setiap dirinya turun ke bawah, menemui para petani, masalah pupuk bersubsidi selalu muncul.

“Prihatin sekali kita karena sepertinya tidak ada solusi permanen. Padahal dunia saat ini dihantui ancaman krisis pangan sehingga dibutuhkan pembenahan yang cepat,” katanya.

Anggota dari dapil Jawa Tengah III yang meliputi Kabupaten Grobogan, Blora, Rembang, dan Pati ini mengatakan, koordinasi lintas kementerian lembaga tidak berjalan baik.

Di mata politisi PDI Perjuangan tersebut, komunikasi lintas kementerian/ lembaga buruk dalam urusan perberasan ini. Bahkan, antara pemerintah pusat dan pemerihtan daerah juga demikian. 

Persoalan ini tidak akan bisa selesai dengan sendirinya, jika tidak diambil langkah. Menurutnya, butuh political will dan action yang cepat, sebelum berlarut-larut. 

Tapi cukup mengherankan juga, lanjutnya, karena di tengah upaya menggenjot produksi beras, justru anggaran pupuk bersubsidi semakin menurun. Dimana awalnya Rp 34,31 triliun tahun 2019 menurun menjadi Rp 31,1 triliun pada 2020.

Lalu anggaran itu kembali turun di tahun 2021 menjadi Rp 29,1 triliun, dan terus turun lagi di tahun 2022 hanya menjadi Rp 25,3 triliun. Dengan anggaran yang hanya sedemikian tersebut, dia menyebut kebutuhan pupuk subsidi 25,18 juta ton hanya bisa dipenuhi 9,5 juta ton atau sekitar 40% saja. 

Begitupun jenisnya, dari 5 jenis untuk 70 komoditas pertanian menjadi hanya 2 saja. Yaitu Urea dan NPK untuk hanya 9 komoditas. Menurut Evita, ini justru kontraproduktif terhadap upaya swasembaya pangan yang berkelanjutan.

“Penurunan ini menurut saya kontraproduktif terhadap upaya swasembaya pangan yang berkelanjutan. Jika misalnya di waktu lalu ada indikasi kenaikan anggaran tidak diiringi dengan kenaikan produksi, maka pengawasannyalah yang harus diperkuat bukan malah dikurangi,” terangnya.

Ditegaskannya, beras merupakan komoditas strategis dalam ekonomi Indonesia. Mengeingat ini menjadi makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Gangguan pada produksi dan distribusi bisa berdampak pada stabilitas. Maka dia mengingatkan, persoalan perberasan jangan dipandang sebelah mata atau tidak dipandang enteng. 

Terkait saling bantah data Kementerian Pertanian dan Bulog, Evita heran masih terus saja terjadi. Kementan bilang produksi beras surplus, stok cukup. Namun kontra dengan Bulog, yang menyebut kondisi defisit sehingga dibutuhkan beras impor. 

Padahal, lanjut Evita, banyak solusi yang bisa diberikan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi sekarang dalam berkoordinasi. Kalau soal metodologi, menurutnya harus bisa disepakati bersama. Tetapi yang mesti dihilangkan adalah ego sektoral dengan memandang kepentingan nasional yang lebih utama.

"Data yang baik dibutuhkan mulai dari pengadaan pupuk hingga penyaluran bantuan lainnya, termasuk dalam urusan stok. Itu berpengaruh ke semua. Jadi, kalau tidak mau diajak bersama-sama dari kementerian/lembaga atau antardaerah, maka perlu ada kekuatan yang bisa memaksa yaitu dari Presiden RI,” tegas Evita.