Indonesianis William Liddle Sebut Pemimpin Ideal RI: Habibie!

William Liddle
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA Politik – Ilmuwan asal Amerika Serikat pakar tentang perpolitikan Indonesia, William Liddle, menyebutkan sedikitnya tiga unsur kriteria atau syarat pemimpin ideal bagi Indonesia pada masa depan setelah Presiden Joko Widodo.

Pertama, siapa pun pengganti Jokowi kelak, tidak boleh melemahkan demokrasi di Indonesia yang telah dijalani sejak era reformasi pada tahun 1998, katanya dalam wawancara secara eksklusif dengan VIVA pada program bincang-bincang The Interview, di Jakarta, Minggu, 14 Agustus 2022.

Kedua, pemimpin tersebut harus menyadari kepentingan ekonomi bangsa Indonesia masa kini dan harus membuat kebijakan yang lebih gesit dan lebih terbuka pada ekonomi dunia. Ketiga, memiliki keterampilan politik yang memadai.

William Liddle

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

"Sebetulnya cita-cita Jokowi sangat bagus untuk ekonomi Indonesia modern. Cuma ketakutannya juga berlebihan," kata Liddle, yang telah meneliti perpolitikan Indonesia sejak era 1960-an. "SBY juga begitu. Inilah bagaimana kekuranglihaian politik."

Dia dengan tegas menyebut "Habibie", presiden ketiga RI, sebagai sosok ideal pemimpin Indonesia, dan seperti Habibie-lah seharusnya presiden masa depan Indonesia. "Sebab dialah yang menciptakan Indonesia demokratis. Dia tidak terbawa-bawa oleh arus dunia atau arus apapun; dia menciptakan sendiri, dia tahu apa yang dia mau lakukan."

Ada tiga unsur dari kebijakan Habibie. Pertama, katanya, Habibie menciptakan demokrasi di tingkat nasional. Juga, kedua, menganut kebijakan desentralisasi. "Desentralisasi ada masalahnya juga, tapi jauh lebih baik dari yang ada sekarang, ketimbang negara yang sentralisasi di bawah Soeharto dan Soekarno sebelumnya."

B.J. Habibie

Photo :
  • U-Report

Ketiga, satu kebijakan yang sebetulnya dikecam, yakni melepaskan Timor Timur yang kemudian menjadi Timor Leste. "Timor Timur dulu sangat merusakkan reputasi Indonesia di luar negeri. Sebetulnya Timor Timur itu bukan bagian awal dari Indonesia; mereka dari awal tidak senang menjadi bagian dari Indonesia," ujar profesor emeritus pada Ohio State University, Amerika Serikat, itu.