Kritik Ketum PPP Suharso, Yenny Wahid: Nggak Kenal Budaya Kiai
- VIVAnews/Cahyo Edi
VIVA Politik - Polemik pernyataan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa soal 'amplop kiai' ditanggapi berbagai pihak selain internal partai berlambang kabah tersebut. Salah satu yang menanggapi adalah putri Presiden ke-4 RI Abdurahman Wahid atau Gus Dur, Zannuba Ariffah Chafsoh alias Yenny Wahid.
Yenny menyindir dengan polemik amplop kiai dinilainya karena tidak paham dengan budaya ulama.
"Jadi, kalau kiai-kiai disebut terlibat dalam money politics, saya rasa itu karena nggak kenal budaya kiai dan ulama," kata Yenny Wahid di Jakarta dikutip dari Antara pada Minggu, 28 Agustus 2022.
Dia berpendapat bahwa kiai dan ulama itu justru lebih banyak memberi daripada menerima sesuatu dari masyarakat. Yenny mencontohkan saat banyak orang yang datang sowan ke kiai untuk minta didoakan karena percaya hal itu akan mendatangkan keberkahan.
"Baik orang miskin maupun kaya, pejabat maupun orang biasa, semua diterima dan dihormati," jelasnya.
Pun, dia bilang tidak jarang ada yang datang membawa sumbangan dan oleh-oleh. Menurut Yenny, ada yang datang membawa hasil bumi, seperti singkong dan kelapa. Namun, ada juga yang memilih berikan sumbangan berupa uang dan jumlahnya pun beragam.
Dia menceritakan mendiang ayahnya yang dulu sering menerima kunjungan dari masyarakat. Ia tak menampik Gus Dur kerap diberi uang yang kemudian diperuntukkan buat keperluan pondok pesantren.
"Bapak saya dahulu sering diberi uang Rp5.000 oleh masyarakat yang sowan. Namun, banyak kiai yang bahkan besaran sumbangannya saja tidak tahu karena biasanya akan disalurkan langsung untuk keperluan pondok pesantren, membangun masjid, dan lain-lain," jelas Yenny.
Yenny menambahkan, banyak pondok pesantren yang masih disubsidi kiainya. Tujuannya agar para santri bisa belajar dan tinggal secara gratis di sana.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan pengalaman unik dengan almarhum Kiai Maimun Zubair, tokoh karismatik PPP. Menurutnya, jika Kiai Maimun diberi amplop maka amplopnya diterima, lalu dikembalikan lagi kepada yang memberi.
"Beliau mengatakan bahwa sumbangannya beliau terima. Karena sudah menjadi haknya, beliau memberikan kembali kepada orang yang memberi sumbangan tersebut sebagai hadiah dari beliau," ujarnya.
Yeni lantas meyampaikan bahwa hal itu sebagai akhlak kiai. Kata dia, cara itu bisa menolak secara halus tanpa menyinggung perasaan orang yang ingin mendapatkan berkah."
Sebelumnya, dalam pidatonya di acara Pembekalan Antikorupsi Politik Cerdas Berintegritas (PCB) untuk PPP pada pertengahan Agustus, Suharso menyinggung soal amplop kiai. Ia menyampaikan hal itu saat mengawali pidatonya dengan menceritakan pengalamannya saat menjadi Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP.
Dia bilang ketika itu mesti bertandang ke beberapa kiai pada pondok pesantren besar.
"Demi Allah dan rasulnya terjadi. Saya datang ke kiai dengan beberapa kawan, lalu saya pergi begitu saja. Ya, saya minta didoain, kemudian saya jalan. Tak lama kemudian, saya dikirimi pesan WhatsApp, 'Pak Plt. tadi ninggalin apa nggak untuk kiai', saya pikir ninggalin apa? Saya nggak merasa tertinggal sesuatu di sana," ujar Suharso kala itu.
Setelah itu, Suharso diingatkan seseorang jika bertemu dengan kiai harus meninggalkan 'tanda mata'. Saat itu, Suharso belum paham maksud tanda mata karena dikiranya adalah seperti sarung, peci, hingga Alquran.
"Kalau datang ke beliau-beliau itu mesti ada tanda mata yang ditinggalkan. Wah, saya nggak bawa. Tanda matanya apa? Sarung? Peci? Alquran atau apa? 'Kayak nggak ngerti aja Pak Harso ini'," ujar Suharso menirukan seseorang yang mengingatkannya.
"Dan itu di mana-mana setiap ketemu, enggak bisa, bahkan sampai hari ini kalau kami ketemu di sana, kalau salamannya nggak ada amplopnya, itu pulangnya itu sesuatu yang hambar. Ini masalah nyata yang kita hadapi saat ini," jelasnya. (Ant)