Demokrat Singgung Angka Kemiskinan Akibat Kondisi Ekonomi
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA Politik – Fraksi Partai Demokrat DPR RI meminta pemerintah menjaga inflasi agar tidak terjadi kenaikan yang terlalu cepat dan drastis. Sebab, dampak inflasi akan mengganggu pemulihan daya beli dan menambah jumlah keluarga miskin.
“Kalau inflasi naik drastis, konsekuensi akan dengan mudah datang. Sementara di sisi lain, pemerintah kerap menyuarakan capaian ini dan itu dengan nyaring. Kalau jumlah keluarga miskin nambah, kan cerita capaian itu malah aneh,” kata Sekretaris Fraksi Partai Demokrat, Marwan Cik Asan dalam keterangannya, Selasa, 9 Agustus 2022.
Pernyataan ini merespons rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan tingkat inflasi bulan Juli 2022 sebesar 0,64 persen atau secara tahunan (yoy) inflasi telah tembus 4,94 persen. Hal tersebut merupakan inflasi tertinggi dalam 7 tahun terakhir.
Diperkirakan sampai dengan akhir tahun, tingkat inflasi dapat mendekati angka 5 persen atau melampaui target APBN 2022 pada kisaran 2-4 persen.
Menurut Marwan, masalah Inflasi merupakan tantangan terbesar pemerintah saat ini setelah pandemi COVID-19 pada awal tahun 2020. Inflasi tinggi jelas akan mendisrupsi pemulihan daya beli.
“Konsumsi rumah tangga akan kembali menurun, maka pertumbuhan ekonomi akan melambat dan masuk dalam kategori stagflasi. Ini kan situasi yang tidak kita inginkan,” ujarnya.
Menurut BPS jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang atau turun 1,38 juta orang dari data Maret 2021 yang sebanyak 27,54 juta orang. Namun dengan kenaikan inflasi pada bulan Juli, diperkirakan tingkat kemiskinan akan kembali meroket dengan tambahan 1 sampai 1,5 juta orang.
“Dapat dipastikan, inflasi yang meroket membuat masyarakat yang 70 persen pendapatannya untuk konsumsi makanan dan minuman akan semakin menderita,” ujarnya.
Marwan menambahkan, kenaikan inflasi yang mulai terjadi sejak awal tahun disebabkan oleh 2 sumber utama. Yakni pertama dari kelompok harga yang ditetapkan pemerintah (administered price) diantaranya kenaikan harga BBM non subsidi, gas LPG non subsidi, tarif listrik, dan tarif pajak PPN menjadi 11 persen per April 2022.
Sumber yang kedua adalah kelompok gejolak harga pangan (volatile food). Diantaranya penghapusan harga patokan tertinggi minyak goreng, kenaikan harga cabe dan produk pangan lainnya, yang secara keseluruhan kelompok volatile foods mengalami inflasi 11,47 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 10,07 persen (yoy).
Marwan mengkhawatirkan situasi ini karena APBN yang diharapkan meminimalisasi dampak kenaikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan, juga belum terkonsolidasi dengan baik.
“Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan skenario untuk mengantisipasi kemungkinan harga minyak dunia terus meningkat, misalnya. Pemerintah juga perlu memastikan dengan segera agar subsidi energi baik BBM, LPG maupun listrik, tepat sasaran,” kata legislator asal Lampung ini.
Terakhir, anggota Komisi XI DPR RI ini menyarankan pemerintah mereformasi mekanisme program bantuan sosial agar tepat sasaran dan mempunyai kemanfaatan.
“Salah satu caranya, siapkan data tunggal yang terintegrasi untuk semua program bantuan sosial, sehingga setiap program yang tersebar di beberapa kementerian dapat teridentifikasi dengan baik dan menghindari terjadinya duplikasi penerima bantuan sosial,” jelasnya.