Bambang Gerindra Bandingkan Harga BBM Zaman Soeharto, SBY dan Jokowi
- Istimewa
VIVA Politik – Anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono menolak keras penerapan penggunaan aplikasi MyPertamina untuk pembelian Bahan Bakar Minyak atau BBM. Kebijakan pembelian BBM bersubsidi melalui aplikasi MyPertamina yang tujuannya untuk membatasi kebutuhan masyarakat, dinilai akan menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi.
Bambang mengatakan, Pertamina seharusnya fokus menjamin ketersediaan Bahan Bakar Minyak dan memastikan kelancaran distribusi. Menurutnya Pertalite bukan merupakan BBM Subsidi, karena BBM bersubsidi adalah premium RON 88 sebagaimana yang berlaku pada era Orde Baru hingga era Presiden SBY yakni Solar dan Premium.
"Bahan bakar minyak bersubsidi Era Presiden Soeharto di tahun 1998, Premium seharga Rp1.200rupiah/liter, sedangkan di Jaman SBY tahun 2012 Premium dan Solar seharga sama Rp4.500rupiah/liter," kata Bambang, kepada wartawan, Sabtu 9 Juli 2022.
Menurut Bambang, harga BBM Subsidi di masa kepemimpinan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono masih lebih murah, padahal saat itu harga minyak mentah dunia sebesar US$145. Sedangkan saat ini harga minyak mentah dunia masih di bawah harga tersebut namun harga BBM jenis pertalite dibanderol Rp7.650/liter
"Sedangkan penggunaan premium tidak dibatasi di jaman orde baru dan SBY, sementara saat ini BBM bersubsidi harus menggunakan pertalite yang harganya jauh lebih tinggi daripada premium. Maka harusnya pertalite saat ini tidak boleh di batasi penggunaannya karena berfungsi sebagai pengganti BBM Subsidi Premium" ujar Bambang.
Bambang juga menyoroti adanya pernyataan yang menyebut Pertamina merugi di tahun 2021 karena menjual BBM Nonsubsidi. Menurutnya, hal tersebut tidak masuk akal.
"Saat ini Pertamina mengalami kerugian besar, sebesar Rp100 Triliun di tahun 2021 karena menjual BBM Non Subsudi, sedangkan Petronas di Malaysia yang menjual BBM Subsidi maupun Non Subsidi yang jauh lebih murah dari Pertamina, di tahun 2021 malah mendapatkan keuntungan sangat besar yaitu sebesar Rp48,6 miliar ringgit atau setara 159,7 triliun rupiah," kata Bambang
"Maka kerugian pertamina adalah tidak masuk akal," tambah Bambang