Polemik Draf RKUHP, Waketum Garuda: Namanya Menghina Tidak Dibenarkan
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA Politik – Draf final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih jadi sorotan karena tetap mencantumkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Protes bermunculan karena dinilai pasal tersebut mengekang demokrasi.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Garuda Teddy Gusnaidi menyampaikan pasal menghina Presiden yang mengatur pidana seharusnya tak jadi polemik.
"Karena yang namanya menghina tidak dapat dibenarkan baik secara ajaran agama maupun adab di masyarakat. Kenapa hal negatif ini dianggap hal positif, sehingga tidak boleh dilarang jika ada yang melakukan penghinaan?" kata Teddy, dalam keterangannya, Jumat, 8 Juli 2022.
Dia menyebut jika yang dilarang dalam RKUHP itu mengkritik dan mengeluarkan pendapat, maka perlu ditentang. Sebab, bertentangan dengan demokrasi dan UUD 45. "Karena negara demokrasi itu bukanlah negara barbar, karena demokrasi itu bukan bebas sebebas-bebasnya. Kritik dan menghina itu 2 hal yang berbeda," tutur Teddy.
Baca Juga: Kuliti Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, Refly Harun: Gebyah Uyah
Pun, ia menambahkan jika mempersoalkan kata dalam draft RKUHP bahwa ada yang sebaiknya dihapus lantaran jadi multitafsir misalnya itu wajar. Namun, jika mendesak menghapus pasal penghinaan tentu kata dia, itu kurang ajar.
"Karena membiarkan warga negara menjadi barbar, membolehkan melanggar norma, adab dan ajaran agama," sebutnya.
Kemudian, ia merespons anggapan bahwa yang dihina lembaganya, bukan personal. Dia mengibaratkan jika demikian apa boleh juga menghina agama, organisasi, suku dan budaya? "Kan yang dihina bukan orang secara personal, tapi sesuatu yang berkaitan dengan orang tersebut. Saya yakin tidak akan ada yang setuju," lanjut Teddy.
Maka itu, ia menekankan yang namanya menyerang kehormatan atau siapapun termasuk Presiden tidak dibenarkan. "Ini hal yang normal yang dibuat seolah-olah tidak normal karena punya tujuan-tujuan tertentu," ujarnya.
Bunyi Pasal
Sebelumnya, draf final RKUHP jadi polemik lantaran masih mempertahankan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Pasal ini menuai protes dari banyak pihak seperti kalangan mahasiswa dan pegiat HAM.
Ancaman pidana dalam pasal 218 terkait penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yakni 3,5 tahun penjara. Namun, untuk proses hukum itu, Presiden wajib melaporkan sendiri ke kepolisian.
"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian isi Pasal 218 ayat 1.
Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden juga diatur dalam draf pasal 219 di RKUHP. Pasal ini untuk kasus penghinaan melalui media sosial.
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."