Geopolitik Soekarno Tak Bisa Dilepaskan dari Pemikiran Bung Hatta

Hasto Kristiyanto Dalam Acara Wusada Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat
Sumber :
  • PDI Perjuangan

VIVA – Soekarno dan Mohammad Hatta, Presiden dan Wakil Presiden RI pertama dan juga proklamator Indonesia, adalah dua pemikir yang selalu dekat. Bahkan pemikiran geopolitik Soekarno tak bisa dilepaskan dari pemikiran Bung Hatta

Itu dikatakan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Dr. Hasto Kristiyanto dalam Orasi Ilmiah berjudul “Eksistensi Pemikiran Geopolitik Soekarno untuk Ketahanan Nasional”, bagi wisudawan ke-127 Universitas Negeri Padang (UNP), Minggu 3 Juli 2022.

“Pemikiran Geopolitik Soekarno tidak terlepas dari pemikiran Bung Hatta,” kata Hasto, dalam keterangan persnya.

Saat memperjuangkan Indonesia merdeka di tengah kondisi global yang anarkis sehingga muncul perang dingin, jelas Hasto, Bung Hatta menyampaikan teori geopolitiknya yang dikenal dengan “Mendayung Diantara Dua Karang”.  Itu sebagai konsep kebijakan luar negeri bebas aktif, yang kemudian digunakan Indonesia dan relevan hingga saat ini.

Menurut Hasto, memahami hal tersebut menjadi penting. Sebab mempelajari pemikiran geopolitik Indonesia, tidak bisa terlepas dari tradisi intelektual para pendiri bangsa. Bung Karno dan Bung Hatta, hadir sebagai perpaduan pemimpin negarawan dan pemimpin pembelajar yang baik. 

Jelasnya, mereka terus bergulat dengan buku sebagai jendela pengetahuan. Bung Hatta dan Bung Karno mempelajari buku secara kritis. Dengan buku, para pendiri bangsa melakukan dialog imajiner dengan tokoh-tokoh dunia. Dari sana, mereka membumikan dalam realitas kehidupan berbangsa, dan dengannya mencari arah masa depan.

“Dwi Tunggal Soekarno-Hatta juga melahirkan pemahaman tentang kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Dengannya bangsa Indonesia membangun rasa percaya sendiri untuk menjadi pemimpin diantara bangsa-bangsa,” ujar Hasto.

Dari situlah, kemudian lahir Konferensi Asia Afrika (KAA), Gerakan Non-Blok (GNB), hingga Conferences of the New Emerging Forces (CONEFO). 

“Kepemimpinan Indonesia tersebut didasarkan pada ideologi Pancasila yang mengandung cita-cita bahwa kemerdekaan Indonesia ditujukan bagi persaudaraan dunia,” tegas Hasto.

Pandangan geopolitik Bung Karno, jelasnya, Pancasila adalah ideologi geopolitik dunia. Pancasila lahir sebagai pandangan hidup bangsa dan sekaligus jawaban Indonesia atas keterbelahan dunia akibat perang dingin. 
Lanjut dia, bagi Bung Karno Pancasila juga lahir sebagai jawaban atas struktur dunia yang tidak adil, akibat berbagai belenggu penjajahan yang melahirkan Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang telah menghancurkan peradaban umat manusia.

“Atas dasar hal tersebut, teori geopolitik Bung Karno didasarkan postulat bahwa dunia akan damai dan berkeadilan apabila dunia bebas dari berbagai belenggu penjajahan,” jata Hasto.

Hasto lalu menjelaskan soal disertasi penelitian doktoralnya di Universitas Pertahanan (Unhan) dengan judul “Diskursus Pemikiran Geopolitik Soekarno dan Relevansinya terhadap Pertahanan Negara”. 

Dia menemukan teori geopolitik Soekarno yang disebut sebagai “Progressive Geopolitical Co-exsistance”

“Teori ini menggambarkan keseluruhan pandangan geopolitik Soekarno yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian dunia, dan bagaimana bangsa-bangsa di dunia bisa hidup berdampingan dengan damai, tanpa ancaman perang,” ujarnya.

Dan menurut Hasto, untuk bisa melaksanakan teori geopolitik ini, Indonesia butuh kepemimpinan strategis.

“Pemimpin nasional harus memiliki pemahaman terhadap geopolitik Indonesia. Memiliki cara pandang outward looking. Kemampuan untuk bertindak keluar inilah pada masa setelah Bung Karno nampak meredup. Sementara fakta historis menunjukkan bagaimana bangsa Indonesia pada tahun 1960-an misalnya, begitu percaya diri dan berani membela kemerdekaan Aldjazair di PBB,” urai Hasto.