Saleh PAN: Menaker Belum Bicara Soal Aturan Pencairan JHT dengan DPR
VIVA – Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, angkat bicara mengenai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2/2020.
Saleh mengaku belum mendapat keterangan yang jelas dan lengkap terkait Permenaker Nomor 2/2020 itu.
Dia mengungkapkan, dalam rapat-rapat dengan Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan, perubahan tentang mekanisme penarikan Jaminan Hari Tua (JHT) tidak dibicarakan secara khusus. Bahkan dapat dikatakan, belum disampaikan secara komprehensif.
"Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah di-sounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai pada keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya, kita juga bisa menjelaskan," kata Saleh kepada VIVA, Minggu, 13 Februari 2022
Terkait Permenaker tersebut, menurut Saleh, harus dipastikan agar tidak merugikan para pekerja dan sejauh ini Saleh mendengar masih banyak penolakan dari asosiasi dan serikat pekerja. Dikhawatirkan, penolakan ini akan menyebabkan tidak efektifnya kebijakan dimaksud.
"Para pekerja kelihatannya merasa sering ditinggalkan. Ada banyak kebijakan pemerintah yang seakan diputus secara sepihak. Mulai dari UU Ciptaker sampai pada persoalan upah minum. Hari ini, ada pula persoalan JHT yang hanya bisa ditarik setelah 56 tahun," ujar Saleh.
Saleh juga menanggapi terkait alasan pemerintah yang tak ingin terjadi klaim ganda karena para pekerja telah diberikan Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP.
Menurut Saleh, JKP sendiri payung hukum yang digunakan adalah UU Cipta Kerja, sedangkan UU Cipta Kerja telah diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
"Bukankah permenaker ini dikeluarkan setelah putusan MK yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat? Kalaupun misalnya JKP sudah boleh diberlakukan, lalu mengapa JHT harus 56 tahun? Apa tidak boleh misalnya diambil berdasarkan situasi dan kondisi pekerja? Katakanlah, misalnya, karena kondisi pekerja yang sangat sulit, lalu dibolehkan dapat JKP dan JHT? Atau banyak opsi lain yang dimungkinkan," ujarnya
Selain itu, kata Saleh, kebijakan ini kurang sosialisasi dan Kementerian Ketenagakerjaan belum maksimal mengedukasi masyarakat terkait JKP. Kalau betul JKP ini bagus, tentu masyarakat akan mendukung.
"Saya melihat bahwa Permenaker Nomor 2/2020 masih sangat layak untuk diperbincangkan di publik. Diskusi publik itu dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, terutama dari kalangan pekerja. Kalau hasil diskusi publik itu ternyata menyebut bahwa permenaker ini merugikan para pekerja, kita mendorong agar permenaker ini dicabut," ujarnya.
Saleh menambahkan, "Harus dibuka ruang untuk diskusi. Tidak baik juga kalau suatu kebijakan strategis tidak melibatkan pihak-pihak terkait," katanya.