Ditanya soal Kepemimpinan Anies, PDIP Sampaikan Evaluasi Ini

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto
Sumber :
  • VIVA/Eduward Ambarita

VIVA – Pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan segera berakhir pada Oktober 2022. Namun 6 bulan sebelum akhir masa jabatan, Anies sudah tidak boleh lagi membuat kebijakan. 

Ketua Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) DKI Jakarta, Gembong Warsono mengatakan partainya berkomitmen bekerja untuk memastikan kota Jakarta menjadi kota yang membahagiakan warganya bisa terwujud. Salah satunya lewat kegiatan penanaman pohon dan penebaran benih ikan di Danau Kampung Bintaro, Jakarta Selatan, yang diorganisasi Banteng Muda Indonesia (BMI), Sabtu, 29 Januari 2022.

“Sebentar lagi kami akan membenahi ini semua. Masa jabatan pak gubernur tinggal menghitung hari, karena bulan April, enam bulan sebelum masa bakti berakhir, gubernur dan kepala daerah sudah tak diperbolehkan membuat kebijakan yang strategis,” kata Gembong.

“Maka, fraksi bersama seluruh elemen masyarakat akan membenahi apa yang belum terbenahi. Hari ini sudah kami buktikan, partai dengan semangat gotong royong membangun bersama masyarakat merawat lingkungan. Semoga ini bisa menjadi gerakan bersama-sama,” tambah Gembong.

Ditanya wartawan terkait evaluasi pemerintahan Anies di Jakarta, Sekjen DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyebut pemerintahan DKI Jakarta era Anies Baswedan hanya fokus menggarap hal yang nampak dan yang berada di jantung kota.

Misalnya, kata pria kelahiran Yogyakarta itu, Anies lebih banyak mengurusi lingkungan di Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin tanpa mau melihat kondisi pinggiran Jakarta.

"Hal-hal yang berada di pinggiran Jakarta itu tidak mendapatkan sentuhan yang membawa perubahan secara sistemik bagi kemajuan daerah," kata Hasto yang memimpin kegiatan yang dilaksanakan sebagai rangkaian perayaan HUT ke-49 PDIP dan Ulang Tahun Megawati Soekarnoputri itu.

Hasto mengatakan pihaknya menilai Anies juga melupakan sejumlah kebijakan positif Gubernur DKI Jakarta era Joko Widodo (Jokowi) hingga Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Contohnya, kata dia, Anies luput merawat taman dan danau di DKI Jakarta yang tidak pernah terjadi ketika provinsi berikon Monas itu dipimpin Jokowi atau Ahok.

"Contoh sederhana dalam membuat taman, di dalam merawat danau, di dalam membersihkan sungai yang dahulu dipelopori Pak Jokowi dan Pak Ahok yang secara spektakuler yang mampu mengubah Waduk Ria Rio, sekarang bisa lihat di sana. Kita juga bisa lihat di Tanah Abang bagaimana pengaturannya, apakah ada taman-taman kota yang dirawat dengan baik?," tutur Hasto.

Hasto saat kegiatan menanam pohon di Danau Kampung Bintaro turut menyinggung banyaknya pasukan oranye yang sekarang ini terlihat duduk. 

Bahkan, dia turut melihat banyak eskavator yang tidak dipergunakan semestinya. Seperti alat berat berupa eskavator milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang terparkir di aliran Kali Cideng di dekat Gedung KPK, Jakarta Selatan.

"Saya kalau di Jakarta berkeliling, bagaimana banyak eskavator yang menganggur. Di KPK itu saya sampai bilang, itu buat apa di depan KPK eskavator menganggur. Mengeruknya tidak dilakukan, klaim atas biaya eskalator dilakukan," tutur Hasto.

Bahkan pengalamannya sendiri ketika melakukan penghijauan di Rawa Lindung Jakarta, dimana warga sekitar mengakui bahwa ekskavator di sana jarang dipergunakan.

Menurut Hasto, hal tersebut tidak terjadi ketika DKI Jakarta dipimpin Jokowi dan Ahok. Semua eskavator bekerja maksimal mengeruk kali dan danau.

"Berbeda di era Jokowi dan Ahok. Semua eskavator berjalan. Masyarakat harus menjadi pengawas agar program bisa dijalankan sebaiknya," kata Hasto.

Belum lagi jika dibandingkan dengan kemampuan Jokowi, Ahok, hingga Djarot Saiful Hidayat yang mengubaj kultur di Jakarta. Contohnya adalah mengenai layanan pemadam kebakaran. Jika di era sebelumnya, ada cerita dimana warga harus “bernegosiasi” jika ingin ada air ketika terjadi kebakaran.

“Itu dulu sebelum pak Jokowi. Ketika menjabat, pak Jokowi mengubah kultur itu. Rakyat yang jadi korban, pemadam otomatis memadamkan. Tidak perlu negosiasi. Itu perubahan kultural. Ini contoh pemimpin mengalirkan disiplin dan ketegasan yang membuat birokrasi satu nafas. Kepemimpinan diukur apabila gubernur berwibawa sampai petugas di lapangan bertugas disiplin, itu namanya kultural organisasi,” kata Hasto.

“Jadi tidak bisa pemimpin santai, kerjanya meminta yang di bawah bekerja,” katanya.

Baca juga: Hasto Cerita Bung Karno Jadikan Ikan hingga Pohon Alat Diplomasi