Lama Tinggal di Arab, Said Aqil: Saya Menghayati Arti Penting NU

Said Aqil Siradj di Muktamar NU ke-34 di Lampung.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Syaefullah

VIVA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj menceritakan soal mahalnya Undang-undang Dasar (UUD) 1945 di Indonesia. Ia menyampaikan demikian karena pengalamannya yang belasan tahun tinggal di Arab Saudi.

"Belasan tahun hidup di Arab membuat saya menghayati arti penting NU untuk Indonesia dan dunia. Dengan segala hormat, di Arab, agama sedari awal tidak menjadi unsur aktif dalam mengisi makna nasionalisme," kata Said Aqil saat Muktamar NU ke-34 di Pondok Pesantren Darussa'adah, Lampung Tengah, Rabu, 22 Desember 2021.

Dia mengatakan jika membaca sejarah dan naskah konstitusi negara-negara Arab, maka bisa dibandingkan dengan naskah pembukaan UUD 1945.

Menurutnya, di Timur Tengah, tak banyak dijumpai ulama yang nasionalis. Hal ini mengakibatkan nasionalisme dan agama yang seringkali bertentangan sehingga memunculkan satu demi satu konflik-konflik sektarian. 

"Apa yang kita saksikan di Palestina, Myanmar, Rohingya, Israel, Somalia, Suriah, Yaman, hingga Afghanistan adalah rangkaian ketidaktuntasan menjawab nasionalisme dan agama adalah dua kutub yang saling menguatkan," ujarnya.

Said Aqil Siradj di Muktamar NU ke-34 di Lampung.

Photo :
  • VIVA.co.id/Syaefullah

Maka itu, Said menuturkan, antara nasionalisme dan agama tidak usah dipertentangkan. Dia mengingatkan hal itu seperti pesan dari pendiri NU, Hasyim Asy’ari.

"Dengan demikian kita mengerti bahwa ujian atas sikap tawassuth, ujian memoderasi polarisasi dua kutub ekstrem, memang sudah khas NU sejak awal mula pendiriannya," jelas Said.

Dia melanjutkan, bagi NU dan Pesantren, menjaga NKRI adalah amanat karena dengan bersetia kepada konstitusi, tatanan bersama dapat terselenggara. Sikap tawassuth atau moderat mustahil tercapai tanpa kemandirian.

"Usia NU yang mencapai hampir seabad ini antara lain disebabkan kemandirian dalam pengertian setia kepada prinsip dan nilai-nilai dasar agama; kemandirian dalam pengertian sanggup menyusun agenda-agendanya sendiri," katanya.

Pun, tawassuth atau sikap moderat di antara dua kutub bukanlah perkara mudah. Tawassuth mempersyaratkan kecakapan pengetahuan dan kebijaksanaan. Dua hal ini lah yang diteladankan para imam mazhab dan ulama-ulama.