Fahira Idris: Presidential Threshold 20 Persen PR Besar Demokrasi

Anggota DPD RI Fahira Idris
Sumber :
  • VIVAnews/ Bayu Nugraha

VIVA – Desakan berbagai pihak dan sejumlah partai politik yang ada di Parlemen agar presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden diturunkan menjadi nol persen semakin menguat menjelang Pemilu 2024. 

Publik luas menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen mengabaikan makna negara demokrasi yang menjamin setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden. 

Teranyar, Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau PT 20 persen diuji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Diskon Dahsyat Semua Serba Rp12 Ribu, Cek Promo 12.12 Superindo

“Saat ini, presidential threshold (PT) pencalonan presiden 20 persen menjadi PR besar demokrasi Indonesia. Ini karena salah satu tujuan demokrasi yaitu kesetaraan hak warga negara dalam berpolitik dihalang-halangi oleh aturan ini," kata Anggota DPD RI Fahira Idris kepada awak media, Minggu, 12 Desember 2021.

Fahira menilai ada kesenjangan yang luar biasa besar antara keinginan para pembuat undang-undang pemilu yang ngotot agar ambang batas 20 persen dipertahankan dengan kehendak publik luas agar ambang batas dihapuskan. 

"Tak heran, norma ambang batas pemilihan presiden ini terus diuji di MK, karena memang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi,” ujarnya.
 
Menurut Fahira, ketentuan PT di tengah keharusan pileg dan pemilu pilpres digelar serentak sejatinya sudah tidak relevan lagi. Ini lantaran waktu pileg dan pilpres diselenggarakan bersamaan, demi keadilan dan asas kesetaraan dalam berkompetisi semua partai peserta pemilu mempunyai hak dan kesempatan yang sama mengajukan calon presidennya masing-masing.

Proses penghitungan suara Pilpres 2014 di Aceh, Rabu (9/7/2014). (Foto ilustrasi).

Photo :
  • VIVAnews/Zulfikar Husein

Lebih dari itu, dampak besar atau mudarat dari dipaksakannya PT 20 persen yaitu kerasnya polarisasi akibat hanya dua calon presiden yang memenuhi syarat, masih bisa kita rasakan hingga hari ini. 

Tuntutan penghapusan ambang batas pemilihan presiden, lanjut Fahira, tidak lepas dari semangat ingin mengembalikan hak demokrasi kepada rakyat.
 
“Begitu banyak kontradiksi yang diakibatkan aturan ambang batas 20 persen yang semestinya sudah tidak lagi kita pertahankan," ujarnya. 

Fahira menambahkan, semestinya rakyat diberi ‘karpet merah’ untuk memilih calon yang memang disediakan oleh sistem yang konstitusional, bukan oleh sistem yang didesain sesuai selera kelompok-kelompok tertentu. 

"Rakyat punya hak dasar untuk mendapatkan akses terhadap banyak alternatif calon presiden dan wakil presiden sesuai konstitusi. Pengembalian hak dasar rakyat itu salah satunya melalui penghapusan ambang batas,” imbuhnya.