Revisi UU Pemilu, PKB Usul Syarat Capres 2024 Ditentukan Usai Pileg
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA – Revisi terhadap UU Pemilu, yakni UU Nomor 7 tahun 2017, saat ini tengah dipersiapkan oleh DPR. Berbagai inventaris masalah mulai dipetakkan, termasuk masalah syarat presidential threshoald atau ambang batas partai politik bisa mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Pada Pemilu 2019, ambang batas mengajukan capres-cawapres sebesar 20-25 persen. Menurut anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yanuar Prihatin, ambang batas untuk capres-cawapres mestinya ditetapkan setelah pelaksanaan pemilu legislatif 2024.
Karena menurut dia, seyogyanya dilakukan setelah pemilu legislatif usai dan setiap partai sudah mengetahui perolehan suara dan kursi di DPR yang ditetapkan KPU.
Baca juga: Ketika Parpol Kecil di Luar Parlemen Tolak PT 5 Persen
"Dengan demikian, ambang batas perolehan suara dan kursi yang diperoleh partai politik untuk mengajukan calon presiden/wakil presiden bersumber dari hasil pemilu legislatif yang terbaru, bukan hasil pemilu 2019," kata Yanuar, Jumat 28 Januari 2021.
Dia menegaskan, untuk mengusung pasangan capres-cawapres, tidak tepat kalau berdasarkan pada pemilu sebelumnya. Mengingat hasil Pileg 2019 dengan 2024, pasti sangat berbeda dan ada perubahan-perubahan.
"Jika hasil pemilu 2019 dijadikan dasar untuk presidential threshold, lantas bagaimana jika partai pengusung anjlok kursinya di DPR dalam pemilu 2024, sementara calon presiden/wakil presiden yang diusungnya terpilih sebagai pemenang? Tentu ini akan mengganggu sistem presidensial yang dianut karena dukungan presiden di parlemen menjadi terbatas," jelas Yanuar.
Jika presidential threshold bersumber pada hasil pemilu legislatif 2024, maka semua partai politik mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama untuk mengajukan calon presiden/wakil presiden.
"Mereka harus berjuang keras memperoleh kursi sebanyak-banyaknya dalam pemilu legislatif jika hendak menjadi pengusung kandidat presiden/wakil presiden," katanya.
Sebab jika berpatokan pada pemilu sebelumnya yakni 2019, maka yang bisa mengajukan hanya partai-partai besar atau gabungannya. Sementara partai kecil, menurutnya tidak diberi kesempatan.
"Apalagi partai politik baru, otomatis tak berpeluang memiliki kandidat presiden. Padahal tidak ada jaminan partai besar ini akan memperoleh kursi yang banyak pula pada pemilu 2024," kata Yanuar.
Pola yang sama, menurutnya, juga harus berlaku untuk pelaksanaan pilkada. Calon gubernur dan bupati/wali kota, diajukan oleh partai politik yang memenuhi syarat berdasar hasil pemilu legislatif paling terbaru.
"Pilkada dilaksanakan setelah pemilu legislatif usai, dan hasilnya sudah ditetapkan KPU. RUU Pemilu yang tengah dibahas di DPR saat ini perlu mendesign ulang pola keserentakan pemilu yang akan dipilih. Pemilu legislatif seyogyanya tidak dicampur dengan pemilu eksekutif secara bersamaan," ujar Yanuar.