Tolak Darurat Sipil, Said Didu: Akal-akalan Lari dari Tanggung Jawab

Said Didu
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Presiden Joko Widodo berencana menerapkan kebijakan darurat sipil sebagai penegas untuk pembatasan aktivitas sosial demi meredam wabah Corona Covid-19. Namun, rencana darurat sipil ini menuai penolakan.

Salah satu suara yang kritis menolak adalah eks Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu. Ia heran semestinya Jokowi selaku kepala negara bisa menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kerantinaan Kesehatan.

"Ada UU karantina wilayah yg bisa digunakan, sekarang mau gunakan UU thn 59 utk darurat sipil. Ini semua akal2an untuk: 1. Lari dari tanggung jawab utk penuhi kebutuhan rakyat krn ga ada lagi uang. 2. Lebih mengutamakan kekuasaan daripada menyelamatkan nyawa rakyat," kata Said dikutip dari akun Twitternya, Selasa, 31 Maret 2020.

Said kembali menyuarakan kritikan karena saat ini bahaya corona mewabah dan mengancam rakyat. Seharusnya, Jokowi bisa memberikan kebijakan yang pro rakyat. Bukan dengan mengejar memakai darurat sipil

"Corona mengejar nyawa rakyatmu. Pemimpin negara yg normal membantu rakyatnya. Tapi anda malah mengejar rakyatmu dg cambuk darurat sipil. Ya Allah lindungi kami dari kedholiman ini.
#tolakDaruratSipil
," tulis Said.

>

Sebelumnya, Jokowi meminta ada kebijakan darurat sipil untuk mempertegas pembatasan aktivitas sosial demi penularan Corona Covid-19. Pembatasan aktivitas sosial, saat ini sudah masif dilakukan terutama oleh aparat keamanan. Contohnya seperti membubarkan pesta-pesta yang mengundang kehadiran massa, hingga aktivitas nongkrong di kafe.

"Saya minta pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi sehingga tadi juga sudah saya sampaikan perlu didampingi kebijakan darurat sipil," jelas Presiden dalam rapat kabinet terbatas, Senin 30 Maret 2020.

Terkait itu, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menjelaskan pemerintah berencana menggunakan tiga UU sebagai acuan melakukan pembatasan sosial skala besar dengan disertai kebijakan darurat sipil. 

Pun, ketiga UU yang digunakan pemerintah yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Bencana, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kesehatan Lalu, terakhir Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya yang terbit di era Presiden RI pertama Soekarno.

Darurat sipil menjadi status penanganan yang diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959. Dalam perppu itu menekankan keadaan darurat sipil adalah keadaan bahaya yang ditetapkan presiden selaku panglima tertinggi angkatan perang untuk seluruh atau sebagian wilayah negara.