Transparansi Keuangan Harus Jadi Syarat Partai Ikut Pemilu

Penetapan nomor urut parpol peserta Pemilu 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA – Forum Transparansi untuk Anggaran (FITRA) menyebut, rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar dana bantuan partai politik naik menjadi sekitar Rp8.000 seharusnya dibarengi komitmen parpol untuk jauh lebih transparan dalam mengelola keuangan.

Partai diminta umumkan laporan pengelolaan keuangan mereka secara terbuka kepada publik. Bahkan FITRA mengusulkan transparansi ini sebagai syarat verifikasi parpol yang akan menjadi peserta pemilu. 

"Kami mengusulkan agar hal ini dapat ditetapkan sebagai persyaratan bagi verifikasi parpol yang akan menjadi peserta Pemilu," kata Manajer Advokasi FITRA, Ervyn Kaffah kepada awak media, Senin, 16 Desember 2019.
 
Menurut Ervyn, transparansi pengelolaan keuangan adalah bagian penting untuk mencegah korupsi di sektor politik. Menurutnya sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa pengelolaan keuangan partai selama ini sangat tertutup. 

Bahkan, banyak di antara pengurus partai sendiri justru tidak mengetahui pengelolaan keuangan partai. Laporan pengelolaan keuangan hanya diketahui sebagian kecil pengurus partai. "Jadi mesti ada keterbukaan di internal partai soal pengelolaan keuangannya," ujarnya.
 
Sebelumnya KPK merekomendasikan dana bantuan partai politik ditingkatkan menjadi sekitar Rp8.000 per suara. Rekomendasi ini bagian dari upaya pencegahan korupsi di sektor politik. 

Peningkatan dana bantuan juga seharusnya diiringi perbaikan tata kelola partai yang tercantum dalam kajian terdahulu tentang Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang meliputi lima komponen utama yakni kode etik, demokrasi internal parpol, kaderisasi, rekrutmen dan keuangan parpol.

Selain itu, untuk mendorong akuntabilitas pelaporan keuangan parpol, pendanaan negara kepada partai politik harus diaudit oleh BPK dan hasil auditnya diumumkan kepada publik secara berkala.

Ervyn mengatakan, persoalan utama di Indonesia adalah korupsi sektor politik yang terefleksi pada banyaknya kasus korupsi yang melibatkan perselingkuhan kekuasaan politik untuk kepentingan kelompok tertentu, yang diduga melibatkan sejumlah politisi.

Survei mengenai persepsi korupsi juga mengonfirmasi tiga besar institusi yang menurut publik paling korup biasanya partai politik, DPR dan Kepolisian. 

"Penambahan dana bantuan parpol belum bisa diyakini dapat menjadi solusi mujarab untuk mencegah praktek korupsi di sektor politik, namun bisa menjadi salah satu strategi saja untuk menguranginya," ujarnya. 

Dituturkannya, penambahan dana bantuan parpol harus didasari asumsi untuk memenuhi kebutuhan standar pembiayaan bagi pengelolaan partai, untuk melaksanakan fungsi-fungsi dasar parpol. 

Berdasarkan pengamatan FITRA sejauh ini, umumnya dana bantuan parpol sebagian besar atau sekitar 70 hingga 80 persen habis digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional kantor, alih-alih untuk pelaksanaan fungsi partai, khususnya untuk pendidikan politik masyarakat.

Dengan adanya penambahan dana dari negara, Ervyn berharap biaya operasional kantor seperti biaya sewa kantor, honor staf dan sebagainya bisa terpenuhi. Parpol juga bisa biayai kegiatan pendidikan politik masyarakat.
Dengan demikian, Ervyn berharap penambahan dana bantuan ini dapat mengurangi ketergantungan partai dari sumbangan atau kontribusi dari pengurus atau elit partai tertentu yang selama ini berkontribusi menyokong biaya kegiatan partai. 

"Selama ini partai cukup terbantu oleh sumbangan pengurus yang juga menjabat sebagai anggota DPR dan DPRD." [mus]