Jaksa Agung: Regulasi Jadi Hambatan Penyelesaian Kasus HAM Berat
- ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
VIVA – Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin menyinggung sejumlah hambatan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Di antaranya belum adanya pengadilan HAM Ad hoc.
"Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM sifatnya pro justisia sehingga perlu izin dari ketua pengadilan, dan juga diperiksa serta diputus perkaranya oleh pengadilan Ad hoc yang sampai saat ini belum terbentuk," kata Burhanuddin dalam rapat dengan Komisi III DPR di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis 7 November 2019.
Ia menjelaskan, pembuktian peristiwa pelanggaran HAM berat tunduk pada KUHAP. Keterangan seorang saksi tidak dapat dijadikan alat bukti kecuali didukung alat bukti lain seperti ahli forensik, uji balistik, dokumen terkait, dan sebagainya.
"Sulitnya memperoleh alat bukti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu karena tempus delicti sudah lama, locus delicti sudah berubah, alat bukti sulit diperoleh dan hilang atau tidak ada," kata Sanitiar.
Burhanuddin menilai, untuk mencapai kepastian hukum soal penanganan pelanggaran HAM berat perlu ditinjau kembali regulasi ketentuan penyelesaian perkara. Lalu, mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan instrumen HAM secara universal.
"Sehubungan dengan koordinasi yang dilakukan dalam penanganan HAM berat, telah melakukan koordinasi intensif dengan dilaksanakannya bedah kasus pada tanggal 15-19 Februari 2016 di Novotel Bogor terhadap enam berkas penyidikan peristiwa pelanggaran HAM berat yakni peristiwa Trisakti, kerusuhan Mei, peristiwa penghilangan orang secara paksa, Talangsari, penembakan misterius dan peristiwa 1965," kata Burhanuddin.
Berdasarkan hasil penelitian bersama diperoleh hasil terdapat enam berkas penyelidikan, terdapat kekurangan formil maupun materiil untuk ditingkatkan pada tahap penyidikan. Ada 15 perkara pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.
"Ada tiga kasus yang sudah diselesaikan yaitu kasus Timor Timur 1999, Tanjung Priok 1984 dan Abepura 2000," ujar Sanitiar.
Lalu, ia menyebutkan terdapat 12 perkara HAM yang belum diselesaikan yaitu sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000 meliputi peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius, peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa simpang KKA, peristiwa rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun Santet, ninja dan orang gila Banyuwangi 1998.
"Setelah UU Nomor 26 Tahun 2000 peristiwa Wasior, peristiwa Wamena, peristiwa Jambu Kepuk dan peristiwa Paniai 2014," tutur Sanitiar.
Menurutnya, tahap penanganan perkara HAM yang telah dilakukan 12 perkara hasil penyelidikan Komnas HAM telah dipelajari dan diteliti. Hasilnya, baik persyaratan formil, materiil, dan belum memenuhi secara lengkap.
"Untuk peristiwa 1965, Semanggi I dan Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan kedua peristiwa tersebut bukan pelanggaran HAM berat, bahwa perkara Paniai tahun 2014 masih berupa SPDP yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti dengan hasil penyelidikan, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat 1 ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM," kata Sanitiar.