Penerbitan Perppu KPK Dinilai Jadi Preseden Buruk Ketatanegaraan RI

Mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak UU KPK dan RKUHP di gedung DPR/ MPRI RI.
Sumber :
  • Anwar Sadat

VIVA – Guru besar hukum Universitas Borobudur Jakarta, Prof Faisal Santiago, memperingatkan akan adanya preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan Indonesia jika Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atas revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Jokowi sempat melontarkan rencana terbitkan Perppu KPK dalam pertemuan dengan para pakar hukum dan tokoh masyarakat di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa beberapa waktu lalu.

"Sebagai negara hukum sudah ada saluran hukumnya, yaitu judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi). Bukan sebentar-sebentar ada demo terus dibuat Perppu," kata Santiago kepada wartawan, di Jakarta, Senin 7 Oktober 2019.

Menurut Santiago, Perppu dapat dikeluarkan jika memenuhi sejumlah persyaratan, di antaranya apabila negara dalam keadaan genting atau adanya kekosongan hukum, maka presiden sebagai kepala negara bisa mengeluarkan Perppu

Akan tetapi, terang Santiago, kondisi seperti yang disebutkan itu tidaklah ada saat ini. Sehingga presiden tidak perlu mengeluarkan Perppu. 

Dia mengatakan, melakukan amandemen atau revisi UU adalah hal yang biasa bagi Indonesia yang merupakan negara hukum, guna melakukan perbaikan-perbaikan agar menjadi lebih baik.

"Sudah selayaknya UU KPK direvisi, karena sudah tidak relevan lagi antara kondisi tahun 2002 dan 2019," ujarnya.

Dia menyarankan agar presiden tidak mengeluarkan Perppu atas hasil revisi UU KPK, dan mengimbau para pihak yang tidak nyaman dengan UU KPK supaya melakukan judicial review ke MK.

Lembaga yudikatif itu, lanjut Santiago, baru dapat menerima uji materi UU KPK terhadap UUD NRI Tahun 1945, setelah undang-undang tersebut masuk Lembaran Negara.

"Jadi ada mekanismenya. Itulah gambaran kita sebagai negara hukum," kata Santiago. (ren)