Golkar yang Tidak Kenal Kata Oposisi
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVAnews - Partai Golkar berdiri pada 20 Oktober 1964. Saat itu, mereka bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Organisasi itu didirikan oleh golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat (seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI), yang menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan.
Ketika Jenderal Soeharto berkuasa, dengan mendirikan Orde Baru, Golkar menjadi kendaraan politiknya. Setiap pemilu yang digelar di masa ini, Golkar, yang waktu itu tidak menyebut diri sebagai partai politik, selalu memenangkan kontestasi dengan perolehan suara yang dominan. Jadilah Golkar turut menikmati kekuasaan selama Soeharto memerintah selama 32 tahun.
Pada 1998, kekuasaan Soeharto runtuh lewat gerakan demonstrasi yang dilakukan para mahasiswa dan segenap elemen masyarakat lainnya. Indonesia pun masuk ke masa reformasi.
Di masa transisi ini, Golkar masih menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Salah satu tokoh elitenya, BJ Habibie menjadi presiden.
Saat pemilu pertama era reformasi, partai berlambang pohon beringin itu memang tidak menempatkan kader atau tokohnya sebagai presiden dan wakil presiden. Namun, mereka sukses mengamankan kursi Ketua DPR. Sang ketua umum, Akbar Tandjung, menduduki jabatan tersebut.
Tak cuma itu, sejumlah kader mereka juga menjadi menteri di kabinet Persatuan Nasional yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri seperti Wiranto, Jusuf Kalla, Mahadi Sinambela, dan juga Luhut Binsar Pandjaitan.
Situasi tidak berbeda terjadi ketika Megawati menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid. Sejumlah tokoh Golkar juga turut masuk di kabinetnya.
Jelang 2004, politik di Indonesia memasuki babak baru. Untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Bukan MPR lagi.
Golkar menyiapkan diri secara matang. Mereka menggelar konvensi, yang pertama kalinya digelar partai politik di Indonesia, untuk mendapatkan calon presiden terbaik.
Di antara para calon dan tokoh-tokoh hebat di internail partai yang menjadi kandidat, Wiranto, berhasil memenangkan persaingan tersebut. Dia berhasil mengalahkan nama seperti Akbar Tandjung, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, juga Prabowo Subianto.
Golkar pun mengusung Wiranto sebagai capres. Dan untuk posisi cawapres, mereka mempercayakan kepada tokoh Nahdlatul Ulama, yang juga adik dari Gus Dur, Salahudin Wahid.
Tapi, mereka mentok di putaran pertama alias tidak lolos ke putaran kedua. Mereka kalah bersaing dengan pasangan lainnya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi.
Pada putaran kedua, Golkar di bawah Akbar Tandjung mengalihkan dukungan ke Megawati-Hasyim Muzadi. Sayangnya, mereka pun kalah juga.
Meskipun begitu, pada akhirnya, Golkar tetap masuk ke kabinet SBY-JK yang memenangkan pilpres langsung pertama tersebut. Bahkan JK kemudian menjadi ketua umum partai tersebut mengalahkan Akbar lewat Musyawarah Nasional di Bali.
Lima tahun kemudian berlalu, dan datanglah pemilu tahun 2009. Untuk kedua kalinya, negeri ini menggelar pemilihan presiden secara langsung.
SBY dan Jusuf Kalla pisah jalan. Mereka sama-sama maju sebagai capres. SBY diusung Demokrat, sedangkan JK diusung oleh Golkar.
Sejarah mencatat bahwa SBY yang berpasangan dengan Boediono memenangkan kontestasi itu dengan sekali putaran. Perolehan suaranya mencapai 60 persen lebih. Mereka mengalahkan dua pasangan calon lain seperti JK-Wiranto, dan Megawati-Prabowo.
Tapi lagi-lagi, dalam penyusunan kabinet, Golkar menjadi salah satu partai koalisi pemerintah. Sejumlah tokohnya menjadi menteri di kabinet SBY yang kedua tersebut.
Pada 2014, pilpres langsung kembali digelar. Kali ini, Golkar mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Lawannya, Jokowi-Jusuf Kalla. Sekali lagi, Golkar kalah dalam kontestasi pilpres.
Lewat serangkaian dinamika politik yang berat, dengan diwarnai perpecahan internal partai, Golkar akhirnya masuk ke kabinet Jokowi-JK. Mereka juga berhasil menguasai kursi Ketua DPR.
Nah, pada pilpres 2019, yang digelar serentak antara pileg dan pilpres, untuk pertama kali dalam sejarah pilpres langsung, Golkar turut menjadi pemenang. Pasangan capres-cawapres yang mereka usung yaitu Jokowi-Ma'ruf Amin, memenangkan kontestasi. Mereka mengalahkan Prabowo-Sandiaga Uno.
Dengan posisi seperti itu, bisa dipastikan Golkar tetap ada di lingkar kekuasaan, selama lima tahun ke depan. Lantas, kenapa Golkar bisa seperti itu? Tidak peduli menang atau kalah, mereka selalu ada di barisan penguasa.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Maman Abdurahman, menuturkan keberadaan Golkar di dalam pemerintahan adalah salah satu turunan doktrin karya kekaryaan. Posisi Partai Golkar masuk di dalam pemerintahan dalam rangka memperkuat posisi dan peran presiden untuk menjalankan agenda-agenda program pro rakyat.
"Sebagai contoh masuknya Golkar pada beberapa tahun yang lalu dikarenakan kondisi ketidakstabilan politik nasional mengingat tekanan politik kepada presiden sangat kuat," kata Maman saat dihubungi VIVAnews, belum lama ini.
Menurutnya, saat itu pendulum politik tak berada di Istana Negara. Oleh karena itu, pada saat ini setelah memenangkan Jokowi sebagai presiden yang kedua kalinya, maka berdasarkan arahan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, posisi Partai Golkar in body dengan Jokowi.
"Sebab, kami di Partai Golkar tak melihat Pak Jokowi sebagai pribadi ataupun petugas partai namun kami ingin menempatkan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia secara utuh agar wibawa serta otorisasi politik beliau di dalam menjalankan agenda-agenda pemerintahan lima tahun ke depan bisa optimal," kata Maman.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, mengkui Partai Golkar merupakan partai yang selalu berada di dalam kekuasaan pemerintahan. Sejak kelahirannya, Partai Golkar bertujuan untuk dapat berkarya dalam pemerintahan sesuai dengan doktrinnya karya kekaryaan dan siaga gatra praja.
"Dengan berada di pemerintahan, Partai Golkar dapat memperjuangkan cita-cita proklamasi," kata Ace saat dihubungi VIVAnews.
Menurutnya, tidak ada partai yang didirikan untuk menjadi oposisi. Partai didirikan untuk merebut kekuasaan.
"Dengan begitu apa yang menjadi platform pejuangan partai akan dapat diperjuangkan dalam kekuasaan itu," kata Ace.