PDIP: Oposisi Dahulu, Berkuasa Kemudian

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

VIVAnews - Usai perhelatan pemilihan presiden 2004, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memutuskan untuk menjadi oposisi. Salah satu sebabnya, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mereka usung kalah saat bertarung di pilpres melawan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, menyatakan pilihan menjadi oposisi saat itu merupakan suatu keputusan, sikap politik bahwa mereka ingin berada di luar.

"Ini kan soal sikap, bahwa tawaran itu bisa saja datang dari mana-mana. Ketika kita punya sikap politik ya itulah sikap PDI Perjuangan," kata Andreas kepada VIVAnews, belum lama ini.

Meskipun menjadi oposisi, PDIP tetap mempersiapkan diri untuk menghadapi kontestasi-kontestasi di masa mendatang. Kolega Andreas di partai banteng moncong putih, Masinton Pasaribu, menceritakan ketika partainya berada di luar pemerintahan selama 10 tahun, institusi kepartaian, atau kelembagaan partai mempersiapkan rekrutmen dan kaderisasi di setiap tingkatan kepartaian.

Masinton menuturkan kaderisasi ini bagian dari penguatan ideologi, karakter kepartaian, dan watak kerakyatan. Dan di situ, keberadaan PDIP di luar pemerintahan itu dalam rangka menyiapkan kader-kader kuat secara ideologi.

"Dan inilah yang kemudian menggerakkan mesin partai menyatu dengan rakyat," kata Masinton kepada VIVAnews, baru-baru ini.

Selain itu, pada masa mereka menjadi oposisi, Masinton mengungkapkan bahwa PDIP dalam aspek kebijakan menjadi counter part-nya pemerintah, menyiapkan alternatif-alternatif kebijakan melalui parlemen sehingga publik bisa melihat dan membandingkan.

Politisi yang duduk sebagai anggota Komisi III DPR itu melanjutkan kaderisasi juga termasuk menyiapkan kader-kader yang siap untuk duduk di eksekutif maupun legislatif. Dari tingkat daerah sampai tingkat pusat.

Data menyebutkan bahwa selama 10 tahun menjadi partai oposisi, PDIP mengalami banyak kerugian juga kekalahan secara politik. Misalnya saja, pada pemilu 2009, atau setelah lima tahun pertama menjadi oposisi, di pemilihan legislatif, perolehan kursi mereka di DPR sebanyak 95 (persentase suara 14,03 persen) atau turun bila dibandingkan dengan Pileg 2004 sebesar 109 kursi (persentase suara 18,53 persen).

Pada masa ini, PDIP menjadi partai nomor tiga di DPR. Mereka ada di bawah Partai Demokrat (150 kursi), dan Partai Golkar (107 kursi).

Untuk pemilihan presiden, mereka juga terkapar. Pasangan yang mereka usung, Megawati-Prabowo, juga kalah telak dari SBY yang berpasangan dengan Boediono.

Mega-Prabowo mendapat suara sebesar 26,79 persen. Sedangkan SBY-Boediono 60,8 persen.

Selain itu, setiap ada kebijakan dari pemerintah yang mereka tolak di DPR, selalu tidak bisa mereka bendung misalnya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebabnya, kekuatan mereka kalah jauh dibandingkan SBY dengan Partai Demokratnya yang menggalang koalisi bersama Golkar, PPP, PKS, PKB, juga PAN.

Tapi, tidak selamanya kerugian dan kekalahan yang mereka dapatkan. Pada akhirnya, pilihan menjadi oposisi memberikan keuntungan bagi mereka dalam jangka panjang.

Pada Pemilu 2014, PDIP sukses memenangkan kontestasi baik pileg maupun pilpres. Di pileg, mereka mendapatkan suara terbanyak dengan 18,95 persen, dan meraih 109 kursi di DPR.

Sedangkan di pilpres, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mereka usung, Jokowi-Jusuf Kalla tampil sebagai pemenang. Mereka meraih suara sebanyak 53,15 persen. Lebih banyak dibanding Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang mendapat 46,85 persen suara.

Kemenangan tersebut kemudian mereka lanjutkan lagi pada 2019. Di pileg, mereka meraih persentase suara sebesar 19,33 persen, kursi DPR sebanyak 128. Sedangkan di pilpres, pasangan capres-cawapres yang mereka usung, Jokowi-Ma'ruf Amin, tampil sebagai pemenang dengan 55, 5 persen. Unggul dari Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang meraih suara sebanyak 44,5 persen.

Jadilah, masa oposisi PDIP selama 10 tahun terbayar, dengan dua kemenangan beruntun di Pemilu 2014 dan 2019.

Masinton menyampaikan saat PDIP dipercaya rakyat melalui pemilu presiden dan legislatif 2014 dan 2019, alias menang tersebut, mereka menjadikan pengalaman 10 tahun sebagai oposisi untuk membangun Indonesia dengan prinsip gotong royong, membangun Indonesia melalui pendekatan infratruktur sebagai konektivitas ke-Indonesia-an itu. Dari satu pulau ke pulau lain. Dari Barat ke Timur.

"Nah kemudian, PDIP dipercaya kembali kader PDIP sebagai presiden dan PDIP menang legislatif di 2019. Maka, kita berupaya terus menguatkan pondasi kebangsaan. Dengan yang disebut 4 pilar kebangsaan. Di situ komitmen ideologi PDI Perjuangan di tingkat daerah sampai tingkat pusat," kata Masinton lagi.

Hadiah Bagi Oposisi

***

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, sempat menyinggung sikap politiknya selama periode pemerintahan 2004-2014 dalam pidato politiknya di forum Kongres, Sanur Bali, Kamis 8 Agustus 2019. Mega menegaskan bahwa sikap oposisi yang diambil partainya tidak mudah. Apalagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dulu bekas anak buahnya, menggoda mereka dengan menawarkan kursi menteri.

"Waktu Presiden Pak SBY, saya bilang ke beliau. Pak, saya tidak mau masuk kabinet. Karena dulu ditawari menteri delapan atau piro ya," kata Megawati.

Keteguhan sikap itu, kata dia, juga sempat dipertanyakan partai politik lain dan internal partainya. Bahkan Megawati, menunjukkan jalan yang ditempuh olehnya menjadi partai penyeimbang selama 10 tahun tidak begitu berpengaruh sama sekali.

"Sepuluh tahun (oposisi), hidup juga kok," kata Mega.

Megawati pun mengingat protes dari kadernya terhadap pilihan itu. Baginya, berada di luar pemerintahan tetap adalah sebuah pilihan yang baik.

"Saya bilang (waktu itu). Kalau mau jadi menteri (saat oposisi), mesti keluar dari PDIP," kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Mega juga mengungkap pengalaman pahit PDIP di masa lalu. Misalnya, usai pelaksanaan Pemilu 2014 lalu, dalam sekejap, Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) diubah. Saat itu, sebagai partai pemenang pemilu, aturan diubah dan PDIP gagal menempatkan kadernya sebagai Ketua DPR.

Tak hanya itu, saat pemilu tahun 1999, Mega juga merasa dikibuli. Pada saat itu, partai berlogo banteng tersebut memenangi pemilu dan seharusnya berhak atas kursi presiden. Namun impian itu gagal di lewat sidang umum istimewa MPR.

Kejadian itu, kata Megawati, tak bisa dilupakannya. Bahkan ia menyebut peristiwa politik di Indonesia sulit ditebak.

"Kesabaran revolusioner. Hadiahnya sekarang dua kali menang pemilu. Mau tidak menang tiga kali?" kata Megawati kepada ribuan kadernya.

Sementara itu, Analis Politik dan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai PDIP bisa disebut berhasil menjalankan peran sebagai oposisi. Ketika suatu partai yang memilih jalan oposisi itu berhasil, maka ujungnya adalah memenangkan kekuasaan.

Menurutnya, bertahannya PDIP disebabkan karena mesin partai tumbuh secara merata. Kemudian kedua, kekuatan soliditas di antara pengurus. Dan ketiga, mereka punya tokoh, sosok, figur yang pada waktunya, masa itu moncer atau memasuki masa emasnya.

Tidak bisa dipungkiri, hadirnya Jokowi beberapa tahun jelang Pemilu 2014 menjadi poin krusial bagi PDIP. Di awali dari keputusan mereka mengusung mantan Wali Kota Solo itu di Pilgub DKI pada 2012, kemenangan pun datang bergantian.

Mereka berhasil memenangkan kontestasi politik di ibukota tersebut, mengalahkan calon petahana Fauzi Bowo. Dua tahun berikutnya, mereka sukses mendapatkan kursi presiden, dan sekarang mereka sukses mempertahankannya. (umi)