RUU Kekerasan Seksual Ditunda DPR padahal Tren Meningkat 800 persen
- bbc
Beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di masa pandemi `semakin menambah urgensi` diloloskannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), tapi pembahasan rancangan undang-undang ini justru ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang menuturkan sisa waktu dalam masa tahun sidang berjalan yang semakin singkat dan proses pembahasan yang sulit karena pandemi Covid-19 menjadi alasan di balik rencana penundaan pembahasan beleid ini.
Namun, di tengah upaya menunda pembahasan RUU PKS, Komisi VIII justru mengusulkan akan memasukkan RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia untuk masuk daftar Prolegnas Prioritas 2020.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi menilai langkah DPR mengesampingkan RUU PKS mencederai rasa keadilan dan pemulihan korban kekerasan seksual.
"Saya tak habis mengerti kenapa RUU yang bertujuan untuk memenuhi keadilan dan pemulihan untuk korban itu di-drop, dibandingkan [rancangan] undang-undang yang lain," ujar Ami kepada BBC News Indonesia.
- Kisah relawan penyintas kekerasan seksual di tengah pandemi, `Pelecehan itu kenanya di psikis, lukanya di batin`
- KDRT meningkat selama pandemi Covid-19: Perempuan kian `terperangkap` dan `tak dapat mengakses perlindungan`
- `Dulu saya pikir perempuan itu lemah`, cerita para remaja pria yang jadi ujung tombak memerangi kekerasan terhadap perempuan
"Jika pun tahun kemarin ada perbedaan terkait RUU PKS, kita bisa bicarakan, kita formulasi ulang perumusannya yang tidak multitafsir, tapi bukan dengan men-drop," jelasnya kemudian.
Adapun tiga poin yang menyebabkan RUU PKS tak kunjung disahkan adalah terkait penentuan judul RUU PKS, definisi yang dinilai bermakna ganda dan terkait pidana dan pemidanaan.
Selain itu, ada beberapa pasal dalam RUU PKS yang dianggap berpotensi melegalkan praktik seks bebas.
Dua kali alami kekerasan seksual
NMS, gadis belia asal Denpasar Selatan, menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh sepupu dan mertuanya.
Pendamping penyintas, Ni Luh Putu Anggraini, menjelaskan peristiwa ini bermula tahun lalu, ketika penyintas dinikahkan secara adat oleh sepupunya setelah kedapatan hamil akibat kekerasan seksual yang dialaminya.
"Dia dalam kondisi hamil, kemudian dinikahkan karena pelaku siap bertanggung jawab. Ternyata masih ada yang memilih menikahkan daripada menghukum pelaku," ujar Anggraini.
Dia menuturkan, kedua remaja ini hanya dinikahkan secara adat. Padahal, syarat pernikahan di bawah umur harus menyertakan izin pengadilan.
Sesuai UU Perkawinan, batas minimal usia perempuan bisa melakukan pernikahan adalah19 tahun.
"Begitu dikawinkan, nggak berapa lama kemudian sudah langsung lahir si bayinya," kata dia.
Namun, satu bulan setelah melahirkan, pada April lalu, dia kembali mengalami kekerasan seksual, kali ini dilakukan oleh ayah suaminya, yang sekaligus pamannya sendiri.
Kasus ini dilaporkan ke unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Bali pada Senin (29/06) kepada kepolisian Denpasar yang sejak saat itu bergerak cepat menangkap pelaku.
Kepolisian Denpasar akhirnya menangkap terduga pelaku, IMY pada Selasa (30/06). Dia dijerat dengan Pasal 81 UU tentang Perlindungan Anak dengan ancaman 15 tahun penjara.
Ni Luh Putu Anggraini yang juga pegiat di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK) Bali, mengungkapkan penyintas masih merasakan trauma tiap kali teringat dengan perisitiwa yang dia alami.
"Ketika kita minta si anak ini mengungkapkan kasusnya, ternyata anak ini langsung teringat lagi. Biasanya kronologi kasus kan kita harus jelaskan, ternyata anak ini langsung bengong, nangis, merasa marah merasa takut," ungkap Anggraini.
"Akhirnya kami meyakinkan dia, `Apakah kamu ingin membiarkan kasus ini?`, jadi memang harus ada pendampingan psikologis pada korban. Kemudian dia dipersiapkan bahwa ini kasus hukum, kasus kekerasan yang bisa dilaporkan," ujarnya kemudian.
Namun, tak semua penyintas kekerasan seksual berani melaporkan kasusnya ke ranah hukum. Trauma dan ketakutan menyebabkan sebagian besar dari mereka memilih diam atau hanya memberitahukan kepada kerabat dan teman baik.
Padahal, data BPS menunjukkan satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual selama hidupnya.
Kompas Perempuan mencatat, tren kekerasan terhadap perempuan terus meningkat tiap tahun.
Merujuk laporan Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792%, atau hampir 800%.
Artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat.
Kendati begitu, kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai fenomena gunung es, yang dapat diartikan bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman.
Sementara, dalam survei terbarunya, Komnas Perempuan mengidentifikasi bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan kerentanan baru pada kondisi kehidupan perempuan, termasuk pada kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan terutama dihadapi oleh perempuan yang berlatar belakang kelompok berpenghasilan kurang dari Rp5 juta per bulan, pekerja sektor informal, berusia antara 31- 40 tahun, berstatus perkawinan menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang, dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi Covid-19.
Sebanyak 80% responden perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah 5 juta rupiah per bulan menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama masa pandemi.
Kurang dari 10% perempuan korban melaporkan kasusnya ke pengada layanan semasa Covid-19.
`Jangan berhenti pada persoalan pendampingan hukum saja`
Tren peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan, apalagi di masa pandemi, membuat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual -RUU PKS semakin penting untuk segera diloloskan. Sebab, RUU PKS disusun demi memberikan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual.
"Kita ingin melihat perhatian negara, pemerintah soal rehabilitasi. Pemulihan korban-korban kekerasan seksual ini luar biasa perlu dukungan, perlu serius," kata Ni Luh Putu Anggraini dari LBH APIK Bali.
"Jangan berhenti pada persoalan pendampingan hukum saja," imbuhnya kemudian.
Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan menambahkan selama ini korban kekerasan seksual mendapat hambatan akses keadilan karena banyak kasus kekerasan seksual sulit diselesaikan dengan UU KUHP.
"Hukum kita, khususnya hukum pidana belum mampu mencakup seluruh bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi," jelasnya.
UU KUHP, beleid yang dibuat puluhan tahun lalu, hanya menyasar tiga bentuk kekerasan seksual, yaitu perkosaan, pencabulan dan persetubuhan.
Sementara, bentuk-bentuk kekerasan seksual berkembang pesat, mulai dari eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perdagangan orang untuk tujuan seksual, pemaksaan penggunaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi. Bahkan kini ada kekerasan seksual berbasis online.
"Dengan tidak adanya hukum, korban akan menuntut keadilan dengan cara apa?."
"Efeknya korban tidak bisa mengklaim keadilan, korban tidak bisa mendapatkan akses keadilan," ungkap Ami.
Dia menambahkan, saat ini, ketika korban akan mengklaim keadilan menggunakan sistem hukum, maka dia akan berhadapan dengan sistem peradilan yang tidak ramah terhadap perempuan. Sebab, UU KUHAP masih berorientasi pada perlindungan tersangka dan terdakwa, belum beriorentasi pada perlindungan terhadap korban.
Dalam UU KUHAP, lima bukti yang dapat dijadikan materi dalam sidang pengadilan pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Dalam RUU PKS, dimasukkan alat bukti tambahan antara lain keterangan korban, surat keterangan psikolog atau psikiater, rekam medis, rekaman pemeriksaaan dalam proses penyidikan, informasi elektronik, dokumen dan pemeriksaan rekening bank.
Dengan alat bukti tambahan ini, penyintas kekerasan seksual mendapat peluang untuk mendapatkan keadilan sebagai pemenuhan syarat pembuktian.
RUU ini juga memberikan bantuan pemulihan kepada penyintas, sehingga terhindar dari dampak serius dan trauma sepanjang hidup mereka.
"Korban membutuhkan pemulihan, membutuhkan tindakan cepat untuk pemulihan fisik, psikologi dan psikososial yang tidak ada jaminan ketika menjadi korban kekerasan seksual dia akan pulih," kata Ami.
`Pembahasannya memang agak sulit`
Belakangan Komisi VIII DPR mengusulkan penarikan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 dalam rapat koordinasi Badan Legislatif DPR dengan pimpinan komisi terkait evaluasi prioritas, Selasa (30/06).
"Pembahasannya memang agak sulit, ini bercermin dari periode lalu. Tidak mudah, jadi kami menarik (RUU PKS dari Prolegnas 2020)," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, yang juga Ketua Panja RUU PKS dalam rapat tersebut.
Hasil koordinasi tersebut akan dibawa ke Rapat Kerja Baleg bersama Pemerintah dan DPD terkait dengan evaluasi Prolegnas Prioritas 2020.
Kepada BBC News Indonesia, Marwan beralasan pembahasan RUU prioritas prolegnas 2020 hanya sampai Oktober saja. Dengan sisa masa sidang yang terbatas di tengah masa pandemi, maka pembahasannya dialihkan ke periode sidang berikutnya.
"Alasannya sesederhana itu saja," kata dia.
"Melihat situasi pandemi ini, kita masih butuh pembahasan yang lebih dalam," ujar Marwan kemudian.
Bercermin pada periode lalu, Marwan yang menjabat sebagai Ketua Panja RUU PKS menyebut pembahasan RUU PKS alot dan terpaksa dilanjutkan di periode selanjutnya. Namun hingga kini, pembahasannya belum dilanjutkan kembali.
"Tiba-tiba pandemi, nggak bisa lagi."
"Karena itu kita menarik dan menempatkan di Prolegnas Prioritas 2021," jelas Marwan.
Pemerintah minta pembahasan segera diselesaikan
Tenaga ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adiansyah menyebut pemerintah berharap RUU ini bisa diselesaikan "sesegera mungkin" ketika dibahas pada periode mendatang, "mengingat pentingnya undang-undang ini",
"Itu memang wewenang DPR untuk menunda pembahasan, pemerintah hanya bisa mengharapkan agar begitu nanti pembahasan bisa diselesaikan sesegera mungkin," ujarnya.
Namun, Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopeng menjelasan RUU ini masih memerlukan pembahasan panjang, menyangkut apa yang selama ini diperdebatkan.
"Paling tidak begitu dibuka kembali pembahasan ini kita yakin masih banyak yang minta didengar pendapatnya, sambil membahas kita buka RDPU (rapat dengar pendapat umum)," kata dia.
Dia menjelaskan, pada periode sebelumnya perdebatan RUU PKS masih berkutat tentang dua hal, yakni judul dan definisi.
"Di situ berputar-putar aja kita tentang itu," jelas Marwan.