Ketok Palu! DPR Tunda Pengesahan 5 RUU
- bbc
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati penundaan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan empat rancangan undang-undang lainnya dalam rapat paripurna di gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (30/09).
Kesepakatan itu mengemuka setelah para anggota DPR yang hadir menyatakan setuju atas pemaparan Ketua DPR Bambang Soesatyo dalam rapat paripurna terakhir masa bakti DPR 2014-2019.
Politisi Partai Golkar itu menuturkan bahwa sebelum Rapat Paripurna, pimpinan DPR menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) bersama pimpinan fraksi dan komisi.
Dalam rapat tersebut, menurutnya, seluruh unsur pimpinan menyetujui usulan penundaan pengesahan sejumlah rancangan undang-undang, salah satunya RKUHP.
"Bahwa tadi sebelum Rapat Paripurna ini telah diadakan Rapat Bamus antarpimpinan DPR dan seluruh unsur pimpinan fraksi serta komisi terkait usulan penundaan atau carry over beberapa rancangan undang-undang yang akan kita selesaikan pada periode ini," ujar Bambang saat memimpin Rapat Paripurna.
Selain RKUHP terdapat empat RUU yang ditunda dan dilanjutkan pembahasannya pada periode 2019-2024.
Keempat RUU tersebut adalah RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Perkoperasian dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan.
Bambang mengatakan, dalam Rapat Bamus, seluruh fraksi dan alat kelengkapan mengerti urgensi pengesahan RUU tersebut, karena telah melalui proses yang panjang.
"Namun seluruh fraksi juga memahami situasi sehingga menyetujui RUU tersebut ditunda dan `carry over` pada masa persidangan pertama pada periode yang akan datang," ujarnya.
Sebelumnya, rencana DPR untuk mengesahkan RKUHP telah memantik rangkaian demonstrasi di berbagai kota di Indonesia.
Sejumlah pasal di dalam RKUHP disebut "janggal" oleh para aktivis, misalnya `pasal santet` dan `pasal aborsi`.
RKUHP mengatur hukuman penjara bagi orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, menawarkan, atau memberikan bantuan kepada orang lain yang mengakibatkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang.
Ada pula ketentuan mengenai sanksi bagi orang yang menggugurkan kandungannya, tanpa pengecualian kondisi darurat medis dan korban perkosaan.
RKUHP hanya memuat pengecualian bagi para dokter yang melakukan penguguran kandungan, tapi tidak pada perempuan yang melakukan aborsi.