7 Poin Hasil Revisi UU KPK yang Disahkan DPR
- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Paripurna, Selasa siang, 17 September 2019. Ada tujuh poin yang berubah dalam revisi UU KPK tersebut.
Ketujuh poin tersebut, dikutip dari VIVAnews, pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif, yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen. Kedua, pembentukan dewan pengawas.
Ketiga, pelaksanaan penyadapan melalui izin dewan pengawas; keempat, mekanisme penghentian penyidikan; kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum lain; keenam, mekanisme penggeledahan dan penyitaan, dan ketujuh, terkait sistem kepegawaian KPK.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengaku bahwa pihaknya tak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi regulasi tersebut. Dan berdasarkan dokumen yang beredar, banyak norma dalam regulasi baru yang melemahkan penindakan di lembaga antirasuah tersebut.
Dia menuturkan, sejumlah poin yang bisa melemahkan KPK itu, di antaranya Komisioner KPK bukan sebagai penyidik dan penuntut umum penegak hukum. Sementara penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus dengan izin dewan pengawas yang diangkat oleh presiden dan komisioner bukan pemimpin tertinggi di lembaga antikorupsi itu. Selain itu, status pegawai KPK berubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Hal-hal di atas berpotensi besar mengganggu 'independensi' KPK dalam mengusut suatu kasus," katanya, Selasa, 17 September 2019.
Pihaknya juga masih meneliti secara detail UU KPK hasil revisi, yang dinilai masih banyak poin yang bisa melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Sementara sebelum regulasi baru itu disahkan, KPK membeberkan ada sembilan poin usulan DPR, yang bisa mengebiri kewenangan KPK dalam memberantas korupsi. Sembilan poin tersebut, yakni independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan dewan pengawas yang dipilih DPR, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Selain itu, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, serta kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.