Kasus Evi Apita Maya: Sengketa Pertama 'Foto Cantik' dalam Pemilu RI
- bbc
Nama Evi Apita Maya menjadi perbincangan hangat setelah calon anggota DPD (Dewan Perwakilan daerah) RI nomor urut 26 di daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) itu digugat di Mahkamah Konstitusi karena penyuntingan fotonya dalam alat peraga kampanye Pemilu 2019 dianggap "di luar batas kewajaran". Namun kuasa hukumnya mempertanyakan mengapa baru sekarang hal itu diangkat.
Perkara yang melibatkan Evi Apita Maya ini diyakini menjadi kasus pertama foto editan "cantik dan menarik" dalam sidang perselisihan hasil suara pemilu Indonesia.
Warga Kota Mataram, NTB, Alwi (44) mengatakan foto Evi Apita Maya yang telah disunting tidak berpengaruh terhadap pilihannya saat pemungutan suara berlangsung, 17 April lalu. Alwi mengaku lebih memilih calon anggota DPD-RI yang memiliki program jelas, bukan karena wajahnya.
"Tidak ada hubungannya, itu cantik (lalu) dicoblos. Kalau saya, lihat dulu apa program-programnya calon tersebut," ujarnya kepada wartawan Muhammad Irham untuk BBC News Indonesia, Senin (15/07).
Sejurus dengan Alwi, Baiq Fazillah warga Kabupaten Lombok Utara, NTB, juga mengaku tak kenal dengan Evi Apita Maya meski wajahnya telah disunting dalam alat peraga kampanye.
Ia memilih calon DPD RI NTB yang sudah dikenal. "Saya tidak kenal orangnya itu," kata Fazillah saat dihubungi BBC Indonesia, Senin (15/07).
Foto editan "di luar batas kewajaran"
Adalah Farouk Muhammad sebagai pihak yang mempersoalkan foto hasil editan Evi Apita Maya dan membawanya ke Mahkamah Konstitusi. Mantan kapolda NTB ini adalah pesaing Evi Apita dalam pemilihan calon anggota DPD RI NTB 2019.
Farouk yang memperoleh 188.678 suara, menempati posisi kelima atau terdepak dari kontestasi calon anggota DPD RI NTB. Berdasarkan Undang Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, anggota DPD untuk setiap provinsi hanya empat kursi.
Sementara itu, Evi Apita Maya menempati posisi pertama dengan perolehan 283.932 suara.
Happy Hayati Helmi, kuasa hukum Farouk Muhammad, menilai foto editan Evi Apita Maya yang dijadikan bahan kampanye sebagai "di luar batas kewajaran". Ia menduga Evi tidak jujur dalam memperoleh suara.
"Dalam pelanggaran administrasi ini, dilakukan suatu tindakan berlaku tidak jujur bahwa calon anggota DPD RI dengan nomor urut 26 atas nama Evi Apita Maya diduga telah melakukan manipulasi atau melakukan pengeditan terhadap pas foto di luar batas kewajaran, ini akan dibuktikan dengan keterangan ahli," kata Happy dalam sidang pendahuluan di MK, Jumat (12/07).
Selain itu, Evi Apita Maya juga ditengarai sengaja memajang foto dengan logo DPD RI dalam spanduk. Padahal, kata Happy, yang bersangkutan belum atau tidak pernah menjabat sebagai anggota DPD RI sebelumnya.
"Dengan demikian, atas perbuatan calon nomor urut 26 atas nama Evi Apita Maya, telah nyata mengelabui dan menjual lambang negara untuk menarik simpati rakyat NTB sehingga memperoleh suara terbanyak sebanyak 283.932," kata Happy.
Happy juga mengklaim telah melacak pemilih dengan alasan foto atas nama Evy Apita Maya "cantik dan menarik", walaupun pemilih tidak mengetahui siapa calon tersebut.
"Hal inilah kemudian, pemilih, pemohon beserta calon anggota DPD RI lainnya merasa tertipu dan dibohongi," katanya.
Hakim MK kaget mendengar gugatan
Hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna kaget setelah mendengarkan gugatan terkait foto editan Calon DPD-RI dari NTB, Evi Apita Maya yang disebut "cantik dan menarik".
"Kaget juga saya. Ternyata foto bisa berurusan jadi anu (sengketa) juga ya. Iya benar, saya baru tahu itu," kata I Dewa Gede Palguna dalam sidang yang sama, Jumat (12/07).
I Dewa Gede menambahkan nantinya penilaian penyuntingan foto Evi Apita Maya akan diserahkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). MK, kata I Dewa Gede, akan lebih menyoroti persoalan perselisihan hasil suara pemilu DPD-RI.
Bukan hanya editan foto Evi Apita Maya
Selain menggugat hasil penyuntingan foto calon anggota DPD, Evi Apita Maya, tim kuasa hukum Farouk Muhammad juga menyoroti foto pesaing lainnya, H Lalu Suhaimi Ismy.
H Lalu Suhaimi Ismy dituding menggunakan pas foto lama, yaitu saat calon dengan nomor urut 35 itu mencalonkan diri pada Pemilu DPD RI 2014 lalu.
"Sehingga, calon yang bersangkutan telah berlaku tidak jujur dalam pemenuhan persyaratan sebagai calon anggota DPD RI," lanjut Happy.
Selain protes terhadap hasil editan foto yang dinilai "di luar batas kewajaran", Farouk Muhammad juga melaporkan dugaan penggelembungan suara oleh seluruh calon anggota DPD RI NTB yang lolos. Totalnya mencapai 3.680 suara.
Tidak dipersoalkan dari awal
Sementara itu, Syahrul Mustofa, kuasa hukum Evi Apita Maya menilai gugatan yang dilayangkan Farouk Muhammad ke MK semestinya dipermasalahkan sejak awal. Sebab, dalam proses penetapan proses penetapan daftar calon sementara (DCS), foto Evi Apita Maya tidak pernah dipersoalkan.
"Dari DCS itu kan sudah diumumkan secara terbuka dan sebagainya. Kalau pun ada keberatan, ya harusnya diproses itu," kata Syahrul kepada BBC Indonesia, Senin (15/07).
Sementara itu, terkait dengan tudingan Evi Apita Maya tidak jujur dalam menampilkan dirinya dalam foto kampanye, Syahrul menjawab singkat, "Nanti dibuktikan saja di persidangan."
Persidangan lanjutan terkait persoalan ini akan berlangsung Kamis (18/07) mendatang.
`Sulit dibuktikan`
Dari pengamatan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil sengketa yang dilatarbelakangi protes editan foto, baru pertama kali sepanjang sejarah pemilu di Indonesia.
Ia mengapresiasi langkah gugatan ini sebagai pendidikan politik bagi masyarakat.
Fadli mencatat dalam proses persidangan lanjutan nantinya perlu dipahami mengenai aturan tentang verifikasi pas foto.
Aturan pas foto ini tertuang dalam Keputusan KPU No. 883/PL.01.4-Kpt/06/KPU/VII/2018 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran dan Verifikasi Perseorangan Calon Anggota DPD. Aturan ini tidak mengatur secara rinci mengenai ketentuan penyuntingan foto wajah.
Regulasi ini hanya menyebutkan bakal calon anggota DPD wajib menyerahkan foto berwarna terbaru yang diambil paling lambat 6 bulan sebelum pendaftaran calon anggota DPD.
Di dalam aturan ini juga tidak ditentukan warna latar foto, dan pakaian (selama tidak menggunakan simbol negara).
"Nah, ini penting mendengar keterangan KPU dan Bawaslu. Satu, apakah sudah diverifikasi, ketika diterima dalam proses pendaftaran sebagai syarat calon, dan kedua apakah pernah dipersoalkan dalam mekanisme kampanye dan pelanggaran dalam proses kampanye pemilu," kata Fadli, Senin (15/07).
Selain itu, indikator pemilih dalam menentukan pilihan sangat beragam. Menurut Fadli akan sangat sulit ketika menjadikan foto sebagai satu-satunya faktor pemilih dalam menentukan pilihan.
"Dan kalau mau mengaitkan relevansinya tentu akan sangat sulit, karena variable pemilih dalam memilih calon itu kan banyak. Kenapa hanya mengejar foto itu?" tutup Fadli.