CSIS: Debat Capres Belum Banyak Sentuh Subtansi Strategis

Capres nomor urut 01 Joko Widodo (ketiga kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (keempat kiri) berfoto bersama seusai mengikuti debat capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Debat capres tahap dua pada Minggu malam, 17 Februari 2019, belum memberikan gambaran yang substansif dan strategis. Paparan dan pandangan yang disampaikan kedua kandidat belum memberikan gambaran yang jelas terhadap tantangan Indonesia yang akan dihadapi di masa datang, dan penjelasannya cenderung lebih bersifat reflektif.  

Demikian hasil diskusi “Menakar Komitmen Capres/Cawapres dalam Pengembangan Pangan, Energi dan Infrastruktur yang diselenggarakan Center Strategic and International Studies (CSIS), Senin 18 Februari 2019.

Di mana pembicara yang hadir yaitu, Prof. Dr. Bustanul Arifin, pakar ekonomi pertanian dari Universitas Lampung, Febby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Dr. Alin Halimatussadiah, Peneliti Senior LPEM-UI dan Deni Friawan, Peneliti CSIS, dengan moderator Prof. Dr. Mari Elka Pangestu sebagaia Pembina Yayasan CSIS, yang juga Menteri Perdagangan 2004-2011.

Di sektor pangan, menurut Bustanul, debat capres masih terlalu menekankan isu swasembada dan tidak membahas salah satu isu pokok mengenai pangan, terutama beras. Kinerja pertanian selama ini tumbuh dengan relatif baik di tingkat pertumbuhan 3,9 persen di 2018, walaupun belum berkontribusi pada ketahanan pangan, penciptaan lapangan pekerjaan dan pengetasan kemiskinan.

Ke depan, menurut dia, masalah pangan bukan lagi hanya terkait pada kebijakan pertanian, tetapi sudah pada isu kebijakan pangan (food policy). “Isunya bukan lagi pada swasemba, karena ini hanya soal perut, tetapi pada kebijakan pangan yang terkait dengan pembangunan manusia,” katanya.

Karena itu, lanjut Bustanul, isu terpenting adalah bagaimana meningkatkan akses masyarakat, terutama kelompok miskin, terhadap kebutuhan pangan dan gizi. Mengutip sejumlah data, dia mengungkapkan, sejumlah indikator memang menunjukkan adanya kemajuan dalam pembangunan gizi masyarakat, namun masih terdapat sejumlah masalah yang cukup besar.

Misalnya, indikator wasting pada balita mengalami penurunan dari 12,1 persen pada 2013, menjadi 10,2 persen pada 2018. Pada saat yang sama, indikator lain seperti Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) turun dari 10,2 persen menjadi 6,2 persen, Stunting Balita turun dari 32,9 persen menjadi 29,9 persen dan Underweight Balita turun dari 19,6 persen menjadi 17,7 persen. Namun, penurunan yang terjadi selama lima tahun terakhir ini belum cukup signifikan, dan ini terkait dengan kualitas sumber daya manusia ke depan.

Selain itu, yang juga perlu mendapat perhatian adalah meningkatkan persentase anemia pada ibu hamil yang mengalami peningkatan dari 37,1 persen pada 2013, menjadi 48,9 persen pada 2018, padahal targetnya bisa diturunkan 28 persen pada 2019. Kemudian, prevalensi obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas dari 15,4 persen menjadi 21,8 persen, dan peningkatan jumlah penduduk tekanan darah tinggi 25,8 persen menjadi 34,1 persen.

“Peningkatan ini rasio ini menunjukkan risiko dari pola makan dan gizi, yang pada akhirnya juga akan membuat beban penyakit risiko tinggi meningkat yang berdampak pada biaya jaminan kesehatan,” kata Bustanul.

Di sisi lain, Bustanul juga mengungkapkan, ada kemajuan yang signfikan dalam pengelolaan pangan, antara lain kebijakan berbasis satu data produksi yang sudah disepakati 33,2 juta ton (dibanding perkiraan 46 juta ton sebelumnya) dan hal tersebut penting dalam menghitung kebutuhan impor beras misalnya. Ini kemajuan yang berarti, karena selama ini masalah impor menjadi debat berkepanjangan karena data yang tidak valid.

Mengenai isu impor pangan, menurutnya, ini bukanlah hal yang baru, terjadi setiap tahun dan impor kurang lebih hanya lima persen dari keperluan konsumsi yang menurut definisi internasional berarti Indonesia sudah swasembada beras.

Tidak berbeda jauh dengan debat di sektor pangan, menurut Fabby Tumewa, pandangan dan materi yang disampaikan kedua capres di bidang energi  belum menyentuh hal yang subtansif. Sebagian besar debat pada masalah impor Bahan Bakar Minyak (BBM).

Padahal, selain mengurangi impor BBM, salah satu tantangan ke depan adalah bagaimana mengkaitkan isu energi dengan perubahan iklim atau pengurangan emisi CO2. Namun, ini tidak terungkap dengan baik, isunya baru sebatas bagaimana mengurangi impor BBM. Padahal, keadaan dunia terkait energi sudah banyak berubah, baik dari segi persepsi dan kebijakan pengurangan pengunaan batu bara, serta perubahan teknologi serta biaya untuk energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.

Tidak terlihat adanya pembahasan bagaimana misalnya Indonesia bisa mencapai bauran energi sesuai dengan target. Misalnya, untuk di sektor tenaga listrik, pada 2027, sebagian besar yaitu 54,4 persen dari pembangkit listrik menggunakan batu bara, kemudian 23 persen enegeri terbarukan, dan 22,2 persen gas alam.

Diakui, di satu sisi pemerintahan Jokowi-JK berhasil melakukan penambahan kapasitas pembangkit listrik  sepanjang periode 2014-2018, dalam angka yang tinggi, mencapai 9,5 gigawatt (GW).  Namun, penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya 882 megawatt, atau masih sangat rendah atau hanya delapan persen dari total kapasitas pembangkit.  embahasan energi terbarukan dalam debat dari kedua calon terbatas hanya kepada Bahan Bakar Nabati (BBN).

“Pertanyaan, bagaimana bisa mencapai porsi pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2027, karena sampai saat ini investasi di sektor ini masih sangat rendah,” katanya.

Peneliti Senior LPEM-UI, Dr. Alin Halimatussadiah dalam paparannya melihat, debat capres belum banyak menyinggung isu lingkungan yang terkait dengan sustainable development atau pembangunan berkelanjutan. “Saya tidak melihat pembangunan berkelanjutan di sebut oleh kedua calon, padahal pembangunan berkelanjutan harusnya menjadi pertimbangan di semua sektor,” kata dia.

Dia juga mempertanyakan, visi kedua kandidat yang sama-sama ingin meningkatkan penggunaan energi terbarukan berbasis minyak nabati, namun tidak mempertimbangkan dampaknya pada pembangunan berkelanjutan, misalnya antara kebutuhan lahan untuk pangan dan kebutuhan untuk bahan baku BBN.

DI sektor infrastruktur, Peneliti CSIS Deni Friawan, pertanyaan ke depan bukan lagi soal perlu atau tidak pembangunan infrasturtur, tetapi adalah infrastruktur dalam bentuk apa, di sektor mana pembangunan ini dilakukan, dan sumber pembiayaan.

Menurut Deni, meski pemerintahan Jokowi-JK sudah menggenjot pembangunan infrastruktur, pada jalur yang benar dan sudah berdampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Namun, hasilnya baru sebatas mengurangi laju penurunan kebutuhan infrastruktur yang diukur dari stok infrastruktur terhadap PDB yang dalam empat tahun terakhir ini stabil. “Ke depan, yang perlu diperkuat adalah bagaimana dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi bisa lebih dipercepat dan dirasakan dampaknya,” kata dia.  

Memang akan perlu waktu dan juga bagaimana mencari keseimbangan antara pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan dan pemerataan (pembangunan jalan di Papua dan NTT), dan yang lebih bisa menciptakan dampak multiplier.  Pembangunan infratruktur juga perlu dibiayai secara berkesinambungan, tidak saja dari APBN, perlu manajemen risiko yang baik untuk peran serta BUMN maupun pola Public Private Partnership (PPP), dan perbaikan kerangka peraturan dan insentif untuk menarik minat swasta.

Berikutnya, perubahan 3 Mindset