Nurhadi-Aldo: Penyegar Kesumpekan Pilpres atau Kecabulan Politik?

Huruf-huruf yang dipilih untuk diwanai merah oleh `koalisi` ini diarahkan untuk menciptakan kalimat yang mesum: Ko**ol Maha Asyik. - Facebook / Nurhadi-Aldo
Sumber :
  • bbc

Suasana gembira dan terhibur menyambut Nurhadi-Aldo, yang disebut jadi `calon presiden nomor urut 10,` masih terus mendominasi percakapan publik dan media sosial. Namun Tunggal Pawestri menyorot sisi lain dari fenomena yang lagi ramai ini, yang banyak terluputkan.

Baik, sepertinya kita sedang dalam suatu perayaan besar atas datangnya Nurhadi-Aldo, alias Dildo, yang sepertinya menghembuskan kesegaran terhadap situasi politik terkait Pilres 2019 yang panas, sengit, pengap, sumpek -dan sama sekali tidak lucu.

Tapi saya sekarang sudah tidak dalam mood itu. Jadi kiranya, saat ini saya harus bersiap sedia untuk dituduh dan dimaki sebagai feminis garang, jutek, judes, garis keras, tak punya selera humor, fundamentalis. Memperkuat stereotip yang sering dilekatkan oleh kaum misoginis. Semoga saya tabah menghadapinya.

Jadi biarlah saya sampaikan sekarang kerisauan ini.

Saat pertama kali muncul, `gerakan` Nurhadi-Aldo itu sempat membuat saya tersenyum simpul, bersuka ria, mendapat capres fiksi (tak ada urusan dengan kitab suci) yang menjadi alternatif kejumudan politik saat ini dan menganggapnya sebagai reaksi budaya cerdas terhadap ketidak-bermutuan politik Indonesia sekarang.

Tetapi makin ke sini, saya mendapati gerakannya kian mengecewakan, karena dalam perkembangannya – ”sebetulnya sudah ada tandanya sejak awal ” – lebih sering menunjukkan kualitas humor (politik atau non-politik) yang jauh dari citra `perlawanan budaya.`

Ada poster (meme) mereka yang tampak cerdas berkelas, yang membuat parodi tentang semboyan `masyarakat tanpa kelas` dari Karl Marx. Tapi selebihnya, plesetan-plesetan mereka merupakan guyonan biasa. Sentilan mereka terhadap politik, juga klise.

Selebihnya, mereka habis-habisan melucu dengan istilah-istilah, asosiasi, dan akronim yang bernada mesum dan seksis. Begitu pun meme-meme dan poster-poster dari para warganet yang diunggah di laman FB Nurhadi-Aldo.

Masalahnya, fenomena Dildo ini terus saja dirayakan tak habis-habisnya, diglorifikasi seakan bagai messiah politik Indonesia, sedemikian rupa sehingga cacat-cacatnya yang begitu fundamental, diloloskan, diluputkan, dimaafkan. Jangan-jangan ini gara-gara saking buruk dan rendahnya kualitas politik kita.

Ya, bisa jadi saya kelebihan ekspektasi.

Saya sempat berharap capres parodi ini akan jadi sebuah metode `perlawanan` yang tajam untuk mengejek payahnya politik kita, terlebih setelah banyak aktivis melibatkan diri, memperkuat kubu Dildo sebagai `caleg` mereka.

Sejumlah aktivis membuat poster - meme - seakan mereka caleg partai Dildo, dengan mencantumkan program singkat tapi lucu-lucu. Namun sebagian di antaranya juga merupakan program bernada seksis, seperti `pelatihan lampu sein bagi ibu-ibu`.

Kalau gelombang ini terus berlanjut, tanpa sentuhan sedikit pencerahan dan kesadaran elementer tentang seksime, saya curiga, nanti mungkin akan ada caleg parodi kubu Dildo ini yang mencantumkan program pelatihan bagi perempuan untuk bisa bersikap manusiawi di gerbong khusus perempuan.

Atau ada program bagi para istri untuk tertib berbelanja agar suami tidak korup, program bagi para (perempuan) pacar untuk berdandan cepat kalau dijemput, dan berbagai materi program yang berbasis stereotip gender dan seksis.

Lalu kita semua akan tertawa terbahak-bahak. `Toh cuma guyon, semua cuma fiksi, humor gelap, parodi satir dan harap dimaklumi dong, mosok bentar-bentar muncul tanduk kalian, wahai iblis betina feminis frigid`.

Entah mengapa, saat melihat banyak yang begitu santai dengan permakluman dan demikian permisif terhadap nada-nada cabul dan mesum sekitar pasangan satir Dildo ini, saya jadi teringat saat pendukung Trump membuat kaus bertuliskan " Trump can grab my pussy " (perlu saya terjemahkan?).

Kaus itu mereka pakai saat kampanye, untuk memaklumi dan memberi pembelaan pada ucapan dan kelakuan cabul Donald Trump tentang menggerayangi kelamin perempuan (katanya, asalkan kita kaya, terkenal, dan berkuasa).

Saya tak kunjung paham, bagaimana para pendukung fanatik Trump bisa sampai ke tingkat itu dalam memaklumi rendahnya akhlak (saya pakai istilah akhlak ini, boleh, ya) dan perbuatan itu sekadar karena politik.

Dan sejauh ini saya hanya bicara dalam koneks dunia yang biner, ya, yang hetero-sentris.

Dunia Agaknya Sudah Berubah, Bro

Ini tahun ke-19 milenial ketiga, dengan dunia yang sudah begitu berubah, dengan kesadaran politik sosial yang sudah begitu maju, dengan sensitifitas baru di kalangan kaum terpelajar khususnya -dan feminis ada di dalamnya, saya kira.

Berbeda dengan bebewrapa belas tahun lalu. Dulu para politikus atau figur publik (mereka yang dibicarakan ini, semuanya, apa boleh buat, adalah laki-laki) bisa dengan leluasa membuat guyonan cabul dan vulgar, lalu disambut gelak tawa.

Guyonan cabul itu sudah tentu bersifat `kelelakian`, phallus centris yang berkisar pada urusan seks kaum laki-laki.

Sekarang ini, kalau ada kaum seleb atau pesohor bercanda seksis, cabul, vulgar di ruang umum, sudah bisa dipastikan akan dipanggang oleh berbagai kecaman dan kutukan -khususnya di media sosial.

Ernest Prakasa, misalnya adalah sosok yang pernah mengalaminya -dan kemudian tercerahkan. Sehingga dia membuat pernyataan `pengakuan dosa` dan bertekad untuk belajar banyak, dan lebih peka dalam karya-karya selanjutnya, baik di panggung stand-up, maupun di film-filmnya. Kesadaran baru bertumbuh. Kita menyambutnya.

Belum lama ini, Triawan Munaf, Ketua Barekraf tak henti diejek, ditertawakan karena tanpa sadar mengucapkan kalimat yang mengandung dua kata yang digunakan berturut yang menciptakan kata yang terdengar tidak senonoh: "IKKON-TOL "Inovasi, Kreativitas, Kolaborasi Nusantara khusus untuk daerah-daerah yang dilewati tol".

Apa yang muncul dari Ketua Barekraf, ikkon-tol, dalam berbagai bentuk pernah hadir sebagai guyonan politik dan sosial di masa lalu, dan dianggap lucu saja, bahkan banyak yang sengaja mencari-cari plesetan seperti itu sebagai bahan guyonan.

Misalnya dulu ketika populer istilah situasi kondisi `sikon,` lalu ada yang bermain-main dengan istilah bikinan: `situasi dan kondisi toleransi masyarakat timur` yang dibuat menjadi akronim sikontol mati -dan orang tertawa.

Namun sekarang situasinya lain. Orang lebih sensitif dan berkesadaran mengenai istilah yang ` correct `. Lebih-lebih, seperti sudah saya bilang, sekarang ada media sosial untuk menyalurkan keberatan itu dan memanggang para politikus atau tokoh publik yang bercanda seperti itu.

Akan tetapi, parodi Nurhadi-Aldo ini mujur sekali tampaknya. Mereka mengalami apa yang dalam bahasa Inggris disebut ` to get away with murder `, istilah yang menunjukan semacam keberuntungan karena lolos dari situasi yang apabila dilakukan orang lain hampir pasti mereka akan mendapatkan masalah besar.

Tak ada yang keberatan atas moto mereka, yang disingkat -melalui pewarnaan khusus di motto itu: `k*nt*l mas,` dan kemudian `k*nt*l maha asyik`. Andai saja akronim sejenis muncul dari kubu Jokowi-Maruf Amien, Prabowo-Sandi, pasti akan jadi bulan-bulanan.

Oke, Dildo mungkin akan bisa dimaafkan karena boleh jadi dianggap langkah baru belaka, dan mengutip `tim sukses` yang berbicara kepada BBC bahwa ini disengaja sebagai strategi marketing untuk mendapatkan perhatian cepat dari publik, yang nantinya saya pikir lambat laun akan `diluruskan`.

Tetapi bagaimana dong -setelah menjadi pusat perhatian, tehnik berkomunikasi mereka terus saja mengandalkan pada idiom-idiom vulgar, dan cabul yang seksis serta phallus centris itu.

Salahkah percabulan? Apakah saya jadi sok moralis atau cuma kurang asik? Saya ajak Anda berkelana sedikit.

Di Indonesia hal yang berbau seks dan percabulan hanya bisa dijadikan olok-olok dan satir politik, sementara kalau jalan-jalan ke beberapa negara lain, akan kita temukan bahwa seks dan percabulan bisa menjadi program dan materi kampanye sungguhan.

Ilona Staller, politikus mantan bintang porno Italia, terkenal dengan julukan La Cicciolina, Si Denok Montok, antara lain mengkampanyekan membuka kembali rumah bordil sebagai program politiknya. Lalu Mary Carey, kandidat gubernur California tahun 2003, berkampanye mengenai pengurangan pajak bagi operasi payudara.

Jadi, di sisi lain, program terkait seks dan ihwal percabulan bukan cuma jadi guyonan politik melainkan menjadi program serius -namun tak perlu menjadi seksis.

Di Indonesia, politikus bisa punya perempuan simpanan, menyewa seleb dengan harga luar biasa mahal untuk kepuasan seks dan kebutuhan menepuk dada di lingkungannya, buka gambar cabul saat sidang parlemen, tapi mana mungkin jadi program atau topik kampanye.

Mereka justru akan sok paling bermoral, berlomba retorika membasmi `kemaksiatan`, dan kalau tertangkap basah berduaan di kamar hotel, bisa berkilah tak tanggung-tanggung: sedang mengajari agama.

Urusan seks jadi topik serius kalau dibicarakan para aktivis yang minoritas -yang akan dituduh mempromosikan budaya barat. Kalau ada yang membicarakannya serius, akan diarahkan ke urusan moral dan agama.

Di ruang publik, percakapan seks hanya muncul sebagai materi guyon, olok-olok dan lawakan satir yang sayangnya juga masih jauh sekali dari kategori humor cerdas.

Saya ingat, dahulu -sebetulnya, sampai sekarang, para `tokoh` memperlakukan acara-acara, kumpul-kumpul resmi atau pun tidak resmi, seakan sebagai festival humor cabul, seksis, phallus centris

Kadang mereka melengkapi lawakan mutu rendah mereka itu dengan mengedip-ngedipkan alis, senyum menyeringai dan muka mesum, dan kalau `tokoh` itu lebih senior, seperti memberi isyarat agar orang menanggapi lawakan dia dengan tawa.

Orang-orang pun terbahak sampai terjengkang, atau sambil menoleh kiri kanan seakan mencari siapa yang belum tertawa, atau sambil menunjuk-nunjuk.

Kalau saya sebut tokoh, itu tidak harus tokoh politik terkenal atau pejabat atau petinggi, atau perwira TNI/polisi. Tapi bisa juga tokoh di gerakan mahasiswa, kelompok perlawanan, atau LSM.

Ada zamannya -karena masa itu kesadaran gender masih rendah, belum ada gerakan #meetoo, atau kita -saya- masih begitu muda, hijau dan masih pendatang baru di gerakan, ya cuma ikut ketawa pahit.

Saya paling-paling membatin waktu itu, dengan menggunakan ungkapan yang banyak dibicarakan: Rezim Soeharto ini tak bermutu, oposisinya tak bermutu, kelompok perlawanannya tak bermutu juga, dengan humor tak bermutu. Pantas saja Soeharto berkuasa begitu lama.

Maka saya merasa deja vu : apa yang terjadi di zaman itu, kok bisa-bisanya muncul lagi sekarang, ketika sepertinya dunia Indonesia (politik, masyarakat sipil, orang-orang gerakan, ya politikus juga) sudah jauh lebih tercerahkan dan berkesadaran.

Mungkin ada sebentar kesegaran yang disumbangkan fenomena Nurhadi Aldo. Lebih-lebih sosok yang mereka jadikan simbol adalah seorang tukang pijat, lambang masyarakat bawah.

Namun sebagian besar meme-meme Nurhadi Aldo, membuat saya teringat pada guyonan-guyonan tak bermutu dan payah yang berpusat pada seks lelaki di masa lalu.

Menertawakan situasi dengan humor yang dilandasi cara pikir, persepsi seksis dan phallus centris itu, mungkin bisa membuat sebagian dari kita merasa terhibur sesekali.

Tapi kita (kalau mengidentifikasi diri pada Nurhadi Aldo sebagai kalangan `pasangan nomor sepuluh dalam pilpres) pasti sama sekali tidak lebih baik, tidak lebih tercerahkan dan tidak lebih berkesadaran dari kalangan pasangan nomor 01 dan 02 yang sedang kita kritik (atau lagi-lagi saya halu ?).

Jadi pasangan `pujaanq` Nurhadi-Aldo, baru menawarkan tahap ketawa terbahak-bahak, tapi masih jauh sekali dari menjadi alternatif atau perlawanan atau budaya tandingan (sebagian meme mereka nada dasarnya khotbah moral dan agama juga).

Tapi ya barangkali memang cuma baru sampai di titik itu tingkat kecerdasan politik kita, bahkan kalangan yang mengaku di luar arus utama atau muak dengan kemapanan dan sengitnya pertarungan para cebong dan kampret .

Iya Saya sedang Berhalusinasi.

Tapi saya memilih untuk tetap berharap pada pasangan satir Dildo, semoga ke depan mereka bisa muncul dengan ungkapan-ungkapan lucu yang dirancang dengan serius yang melindas seksisme, menghancurkan patriarki (seperti janjinya), menghargai dan mengusung hak-hak LGBT, edukasi orgasme buat perempuan dll, dsb.

Mumpung cuma imajiner, mbok sisan !.

Sekian luapan saya sebagai feminis galak kering jutek. Lega juga saya, tulisan ini bisa saya akhiri. Sekarang saya akan kembali mencari sisa-sisa bagian diri saya sebagai feminis riang, penikmat seks tapi anti seksisme.

* Tunggal Pawestri adalah seorang feminis, konsultan gender dan seksualitas, yang untuk tulisan ini ingin disebut sebagai `feminis yang mengamalkan seks tapi bukan seksisme. Artikel-artikel semacam ini akan hadir berkala di BBC Indonesia, karya berbagai penulis, mencakup beragam tema. Tulisan-tulisan itu merupakan pandangan pribadi penulis sepenuhnya.