Samakan Ratna dengan Cut Nyak Dien, Hanum Rais Dikirimi Buku Sejarah
- VIVA/Eduward Ambarita
VIVA – Koalisi pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin segera mengirimkan buku sejarah kepada Hanum Salsabila Rais. Putri Amien Rais itu mendapat hadiah buku tentang pahlawan nasional terkait ucapannya yang mengatakan sosok Ratna Sarumpaet sebagai Cut Nyak Dien masa kini.
Pemberian buku dimaksudkan agar Hanum paham sejarah dan tak cepat membuat perbandingan seorang pahlawan nasional dengan Ratna Sarumpaet, yang ternyata mendapuk diri sebagai penyebar hoax terbaik.
Hanum sempat merekam sikap empatinya kepada Ratna. Sambil memeluk Ratna dan terisak, ia mengatakan Ratna baginya adalah seorang Cut Nyak Dien masa kini. Belakangan, Ratna Sarumpaet memberikan klarifikasi kepada publik dan mengatakan tak ada penganiayaan pada dirinya. Bengkak dan bengap yang terjadi di wajahnya adalah dampak operasi plastik yang ia lakukan di sebuah rumah sakit di Jakarta.
"Supaya memahami betul siapa Cut Nyak Dien," kata Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin, Hasto Kristiyanto, di Posko Rumah Cemara, Jakarta.
Selain buku tentang Cut Nyak Dien, Hanum juga mendapat buku tentang Raden Ajeng Kartini. Hasto mengatakan, ucapan Hanum yang menyamakan pahlawan nasional sekaliber Cut Nyak Dien dan RA Kartini yang telah berjuang demi bangsa dan kalangan perempuan sangat tak sepadan jika disandingkan dengan Ratna Sarumpaet.
"Dengan demikian (Hanum) ke depan lebih mudah membuat perbandingan antara tokoh pahlawan bangsa yang jadi simbolisasi pergerakan perjuangan kaum perempuan Indonesia. Jangan diturunkan kehormatan mereka hanya pada persoalan politik elektoral," kata dia.
Di tempat yang sama, Wakil Direktur Komunikasi Politik TKN, Meutya Viada Hafid, mengatakan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sengaja membuat narasi bahwa perempuan menjadi korban, sebelum akhirnya rekayasa Ratna terbongkar.
Sebagai politisi perempuan dan Anggota DPR, Meutya juga menyesalkan sikap koleganya di parlemen yang turut percaya dan mengabarkan kebohongan itu ke publik.
"Pernyataan yang disebar dengan masif menggunakan kata perempuan berulang-ulang dalam membangun sebuah kebohongan publik dan meyakinkan publik atas sesuatu yang belum pasti kebenarannya. Mereka menggugah perasaan dengan mengeksploitasi kata perempuan," kata Meutya.