MK Harus Dahulukan Gugatan Presidential Threshold

Polisi berjaga di depan gedung Mahkamah Konstitusi MK
Sumber :
  • REUTERS/Darren Whiteside

VIVA – Setidaknya ada dua permohonan judicial review yang bakal mempengaruhi proses demokrasi di Indonesia yang tengah berproses di Mahkamah Konstitusi.

Pertama adalah soal masa jabatan wakil presiden. Kedua mengenai presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Namun, dari dua persoalan penting itu, masalah presidential threshold dinilai jauh lebih mendesak. Alasannya, gugatan tersebut memiliki implikasi yang luas.

"Penting kalau diputus sekarang ada calon alternatif juga dari dua orang itu (Jokowi dan Prabowo Subianto). Kalau dibuka bisa munculkan calon alternatif," kata Ahli Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bivitri Susanti, Sabtu, 4 Agustus 2018.

Bivitri mengatakan, jika gugatan presidential threshold tak diperhatikan, sistem demokrasi di tanah air bisa kacau. Karena dalam konstitusi atau UUD 1945 memang tidak menentukan ambang batas.

"Masalahnya adalah kalau logika dasar saja konstelasi politik (hasil pemilu) 2014 dipakai buat 2019 tidak logis, karena konstelasi politik sangat berubah 5 tahun, ini berbahaya. Ini harus segera diputus MK ketimbang gugatan masa jabatan wapres, karena wapres cuma dampaknya ke Pak JK saja," ujarnya.

Terkait gugatan masa jabatan cawapres yang diajukan oleh Partai Perindo, dia berharap hakim MK dalam putusan menolaknya. Menurutnya, argumentasi yang diajukan tidak kuat. "Kalau saya melihat yang dipertanyakan Perindo seperti mempertanyakan Pasal 7 UUD. Saya kira argumennya sangat lemah, lebih layak ditolak," katanya.

Sebelumnya, Partai Perindo melakukan permohonan pengujian penjelasan Pasal 169 Huruf n UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Gugatan Pasal 169 huruf n ini adalah terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden. Di mana menjadi perdebatan, terutama frasa 'belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama'.

Sementara, aturan soal masa jabatan presiden dan wakil presiden ini merujuk pada Pasal 7 UUD 1945. Pasal itu berbunyi, 'Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan'.

Sedangkan, sejumlah akademisi, aktivis, pegiat pemilu menggugat Undang-Undang Pemilu No 7 Tahun 2017 ke MK. Gugatan ini dilakukan atas Pasal 222 UU Pemilu soal ambang batas capres agar dihilangkan.

Gugatan terkait ambang batas capres sebelumnya pernah diajukan Partai Idaman besutan Rhoma Irama, hingga pakar hukum tata negera Yusril Ihza Mahendra. Gugatan mereka juga sudah diputus dan ditolak MK.

Dalam ambang batas capres, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada 2019.

Namun, karena Pilpres 2019 digelar serentak dengan pemilu legislatif maka ambang batas yang digunakan adalah hasil pemilu legislatif 2014 lalu. Mengacu hal ini, maka parpol harus berkoalisi untuk mengusung pasangan capres dan cawapres. (mus)