Demokrat: Hasto Juru Bicara yang Buruk bagi PDIP

Wakil Sekjen Partai Demokrat, Rachland Nashidik.
Sumber :
  • www.perspektifbaru.com

VIVA – Partai Demokrat masih berang dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristianto yang menyudutkan Susilo Bambang Yudhoyono dan partainya, terkait kasus korupsi e-KTP.

Hasto dinilai, memberi citra buruk pada politik.

"Sekali lagi, Hasto adalah juru bicara yang buruk bagi PDIP," kata Wakil Sekjen Partai Demokrat, Rachland Nashidik dalam keterangan tertulis, Selasa 27 Maret 2018.

Rachland menyesalkan, hubungan PDIP dan Partai Demokrat yang tak terlalu baik. Dia pun menyayangkan kondisi seperti itu. Padahal, menurutnya kedua partai nasionalis ini mempunyai lebih banyak persamaan daripada perbedaan.

"Sebaliknya, dengan segala dinamikanya, hubungan kami selama ini dengan Pak Jokowi (Joko Widodo), justru tak bisa dibilang buruk. Bahkan, Pak Jokowi dalam acara Rapimnas Partai Demokrat beberapa waktu lalu, mencoba kian mendekatkan diri pada kami, dengan menyebut dirinya juga Demokrat," ujar Rachland.

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristianto.

Rachland memandang, serangan Hasto kepada Partai Demokrat justru memperlihatkan perbedaan antara PDIP dengan Jokowi. Dia mengatakan, publik perlu lebih memberi kepercayaan kepada Presiden Jokowi.

Baca juga:

Sindir PSI, Roy Suryo: Belum Kerja Sudah Minta Jatah

Gerindra: Habib Rizieq Tak Masuk Daftar Cawapres Prabowo

"Ia (Jokowi), sebagai 'seorang demokrat', akan menangani dengan arif masalah internalnya dengan PDIP tersebut, sebelum memberi isyarat dapat melangkah lebih dekat kepada Partai Demokrat," kata Rachland.

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebelumnya, Hasto membantah kader-kadernya terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. Menurut Hasto, saat pembahasan proyek itu, posisi PDIP bukan sebagai partai pemenang pemilu.

"Kami bukan dalam posisi desainer, kami bukan penguasa. Dengan demikian, atas apa yang disebutkan oleh Bapak Setnov, kami pastikan tidak benar," kata Hasto.

Menurut Hasto, saat pembahasan proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut, posisi PDIP bukan sebagai partai pemenang pemilu, melainkan berada di oposisi. Apalagi, selama 10 tahun sebagai posisi penyeimbang, partainya praktis tidak mendapat jabatan, baik itu menteri atau pun lembaga negara.

Hasto menilai, Menteri Dalam Negeri saat itu, Gamawan Fauzi, harus memberikan jawaban secara gamblang terkait akar persoalan korupsi e-KTP.

“Itu bagian tanggung jawab moral politik kepada rakyat. Mengapa? Sebab pemerintahan tersebut pada awal kampanyenya menjanjikan, ‘Katakan TIDAK pada Korupsi’, dan hasilnya begitu banyak kasus korupsi yang terjadi. Tentu, rakyatlah yang akan menilai akar dari persoalan korupsi tersebut, termasuk e-KTP," kata Hasto. Baca selengkapnya