JK Pastikan Pasal Penghinaan Presiden Tak Seperti Thailand

Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fajar GM

VIVA – Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan pasal penghinaan atas Presiden dan Wapres tidak akan diberlakukan secara berlebihan. Penambahan pasal itu dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, yang tengah digodok di DPR, telah mengundang kontroversi karena, menurut banyak kalangan, dikhawatirkan bisa memasung iklim demokrasi.

Namun, JK memastikan bahwa pasal itu tidak akan berlaku seperti hukum “lèse majesté” di Thailand. Dalam hukum itu, warga negara Thailand akan diberi hukuman jika ketahuan menghina Raja atau bagian dari kerajaan, walau sedikit saja.

"Jangan dibandingkan (seperti di) Thailand. Menghina anjingnya raja juga, Anda bisa dihukum," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Selasa 6 Februari 2018.

Menurut JK, pasal baru dalam Rancangan KUHP itu hanya akan mengatur tindakan yang melingkupi definisi “menghina”. Pasal itu tidak akan membungkam kebebasan warga negara Indonesia dalam mengkritik kebijakan yang dikeluarkan kepala negara. "Anda kritik habis-habisan Presiden, Wapres, tidak ada soal. Cuma, jangan menghina," ujar JK.

Kriteria dalam mengkritik terang, menurut JK, adalah menyampaikan pernyataan didasarkan argumentasi yang jelas dan data. Sementara, menghina berarti menyebarkan pernyataan yang negatif hanya dengan motivasi menjelekkan pihak yang dihina. JK memastikan jika pasal itu disahkan, pemerintah tidak akan menggunakannya dengan alasan politis.

"Pasalnya dibikin lah jangan karet. Jadi kalau mau kritik, kritik saja. Tapi ada buktinya, ada dasarnya. Jangan menghina yang tidak ada dasarnya," ujar JK.

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly, mengklaim pemerintah hanya melakukan pembahasan saja terkait draft di Rancangan KUHP. Termasuk, di dalamnya, muncul kembali pasal penghinaan terhadap Presiden.

Klarifikasi Yasonna

Yasonna menolak keras anggapan bahwa draft pasal penghinaan Presiden itu adalah keinginan dari pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla. "Enggak lah, pasal itu sebelum pemerintahan ini ada sudah dibahas. Itu kan di-draft," kata Yasonna di Istana Negara, Selasa 6 Februari 2018.

Pembahasan yang kini masih dilakukan antara DPR dengan eksekutif adalah kelanjutan dari sebelumnya. Jadi bukan draft yang dikirim saat era pemerintahan sekarang ini.

"Sudah dibahas sebelumnya pada pemerintahannya yang sebelumnya. Draftnya itu sama, enggak ada bedanya dengan yang sebelumnya," kata Yasonna.

Pembahasan mengenai pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden tertuang dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal itu tercantum dalam Pasal 263 dan Pasal 264 draf RKUHP.

Dalam Pasal 263 ayat 1 draf RKUHP, setiap orang yang menghina presiden dan wapres di muka umum dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan juga denda Kategori IV.

Namun, ayat 2 di pasal itu menjelaskan bahwa apa yang ada di ayat 1 tidak dianggap penghinaan. Yakni jika perbuatan dimaksudkan untuk kepentingan umum, demi kebenaran atau pembelaan diri.

Sementara, Pasal 264 memperluas pidana penghinaan ini. Yakni seseorang bisa dipidana jika menyebarluaskan konten penghinaan kepala negara melalui teknologi informasi. Berikut bunyi lengkap Pasal 264 itu.

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV." (ren)