Kolega Wali Kota Nonaktif Tegal Alasan Sakit saat Diadili

Amir Mirza Hutagulung, kolega terdakwa kasus suap Wali Kota nonaktif Tegal, beralasan sakit saat diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jawa Tengah, pada Senin, 15 Januari 2018.
Sumber :
  • VIVA/Dwi Royanto

VIVA – Amir Mirza Hutagulung, kolega terdakwa kasus suap Wali Kota nonaktif Tegal, Siti Masitha Soeparno, beralasan sakit saat diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jawa Tengah, pada Senin, 15 Januari 2018.

Mirza beralasan kepada majelis hakim bahwa dia memiliki riwayat sesak napas dan darah tinggi. Dalam sidang dakwaan yang yang dibacakan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Amir Mirza mendadak meminta izin untuk berobat.

"Izin, Yang Mulia. Saya mohon untuk diberikan waktu berobat, karena selama ini kondisi saya sakit saat menjalani masa tahanan," kata Mirza kepada Ketua Majelis Hakim Antonius Widjantono.

Atas permintaan Amir, hakim menyarankan agar terdakwa berobat dulu di klinik Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane, karena izin tidak bisa serta-merta diberikan oleh majelis hakim. Jika dokter di klinik Lapas tak sanggup menangani, Mirza diminta mengajukan surat rekomendasi berobat di luar Lapas.

Amir Mirza adalah mantan Ketua Partai Nasdem Kabupaten Brebes. Dalam kasus suap itu, Amir menjadi orang kepercayaan Siti Masitha yang menjadi perantara uang suap dari berbagai pihak di Kota Tegal. Salah satu suap diterima dari Wakil Direktur Rumah Sakit Kardinah, Cahyo Supardi sebesar Rp2,9 miliar serta Rp5,8 miliar dari beberapa pihak di Pemkot Tegal selama kurun waktu 2016-2017. 

Jaksa pada KPK mendakwa Amir Mirza dan Masitha telah menerima uang suap jabatan senilai Rp8,8 miliar. Uang suap itu disebut-sebut akan digunakan keduanya untuk mencalonkan diri maju di Pilkada Kota Tegal 2018.

Jaksa menjerat terdakwa dengan pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.