Tiga Kasus Kakap yang Ditangani PPATK di Tahun 2017

Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA – Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis refleksi akhir tahun 2017. Hasilnya, dari sudut kontribusi penegakan hukum, tercatat PPATK menangani tiga kasus besar selama tahun 2017.

"PPATK 2017 berkontribusi dalam hal penegakan hukum, ada kasus First Travel, KTP elektronik, dan (helikopter) AW101," kata Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin di Kantor PPATK, Jalan Ir. Juanda, Jakarta Pusat, Selasa, 19 Desember 2017.

Badar menjelaskan, lewat penelusuran PPATK, kasus First Travel mencatat kerugian nasabah hingga Rp924 miliar, dan kasus e-KTP merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun.

"Angka tersebut didapat dari hasil analisis kami, melalui Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), Laporan Transfer Dana Dari Dalam/Ke Luar Negeri (LTKL)," papar Badar.

Untuk kasus First Travel, LTKL mencapai 351 laporan, dan LTKM 29 laporan, dengan 2 hasil analisis. Terkait KTP elektronik, LTKL masuk sebanyak 151 laporan, dan LTKM sejumlah 93 laporan, dengan 11 hasil analisis. "Lalu untuk Helikopter AW101, LTKL 51, LTKM 30, dan 4 hasil analisis," ujar Badar.

Badar menjelaskan, pemeriksaan dilakukan terhadap 288 rekening pihak terlapor. Mereka antara lain gubernur, bupati, kepala BAPPEDA, penegak hukum, PNS, pengusaha, pejabat lelang, dan Kepala RSUD.

Dari penelusuran, nominal transaksi tercatat mencapai Rp747 triliun di 228 rekening para pihak terlapor.

Dalam kesempatan ini, PPATK juga menyampaikan hasil Indeks Persepsi Publik Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (IPP-APUPPT) tahun 2017 sebesar 5,31. IPP-APUPPT adalah gambaran dari upaya mencegah dan memberantas TPPU dan TPPT dari sudut pandang masyarakat.

Anggota tim ahli dari Badan Pusat Statistik Ali Said menjelaskan, berdasarkan evidence-based hasil pengukuran tahun 2017, tingkat efektivitas kinerja rezim APUPPT Indonesia dinilai publik sudah cukup baik.

"Angkanya naik dari nilai IPP-APUPPT tahun 2016 dengan nilai 5,21," ujar anggota tim ahli dari Badan Pusat Statistik Ali Said Gedung PPATK, Jalan Juanda Nomor 35 Jakarta Pusat, Selasa, 19 Desember 2017.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, meski pencapaian belum memuaskan karena jauh dari skor maksimum 10, namun terdapat peningkatan dari tahun 2016.

Kenaikan indeks didorong kenaikan dua indeks pembentuknya yakni Indeks Persepsi Publik terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (IPP-TPPU) dan Indeks Persepsi Publik terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (IPP-TPPT). Nilai IPP-TPPU naik dari 5,25 tahun 2016 menjadi 5,57 tahun 2017 dan nilai IPP-TPPT naik dari 4,89 tahun 2016 menjadi 5,06 tahun 2017.

Metode pengumpulan data dilakukan berdasarkan data hasil survei rumah tangga. Pemilihan sampel survei menggunakan kerangka probabilistik sampling dengan pendekatan complex random sampling. Kerangka sampel terdiri dari 11.040 rumah tangga di 1,104 desa atau kelurahan di 172 kabupaten atau kota pada 34 provinsi.

Penyusunan indeks dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholders Rezim APUPPT dan melibatkan lembaga surveyor dari PT Surveyor Indonesia dan Tim Ahli dari Badan Pusat Statistik.

PPATK juga didampingi Akademisi sebagai Tim Penjamin Kualitas. Tim ini berasal dari Universitas Airlangga, Universitas Sumatra Utara, Universitas Sriwijaya, Universitas Jember, Universitas Lambu Mangkurat, dan Universitas Padjajaran. (ase)