Lima Provinsi Ini Simpan Potensi Tertinggi Aksi Radikal
- ANTARA FOTO/Rahmad
VIVA – Survei nasional mengenai daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme di 32 provinsi Indonesia pada tahun 2017 mendapatkan hasil mengejutkan.
Tercatat, dari survei terhadap 9.600 responden yang digelar oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) dan The Nusa Institute, potensi radikalisme di masyarakat Indonesia mencapai 55,12 persen. Selain itu ditemukan juga ada lima provinsi yang memendam potensi aksi radikalisme tinggi.
Seperti dilansir dalam laman resmi BNPT, kelima provinsi yang memiliki potensi radikalisme tinggi itu yakni, Bengkulu, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Lampung dan Kalimantan Utara. Awalnya tak pernah tercantum dalam potensi radikalisme.
Namun demikian, secara mengejutkan, kelima provinsi ini menyodok urutan lima besar sebagai daerah yang rawan terhadap aksi radikalisme.
Ada pun urutan pertama dipegang oleh Bengkulu dengan angka 58,58 persen, lalu Gorontalo 58,48 persen, Sulawesi Selatan 58,42 persen, Lampung 58,38 persen, dan Kalimantan Utara 58,30 persen.
"Dari sini akan kami kaji kebijakan seperti apa yang tepat dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme," kata Deputi I BNPT Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi, Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir dikutip Selasa, 28 November 2017.
Tim ahli BNPT Bidang Agama Profesor Nazarudiin Umar menambahkan, dengan munculnya lima provinsi yang memiliki potensi radikalisme tinggi itu, menjadi pembelajaran baru bagi publik.
"Orang tentunya tidak percaya seperti Bengkulu, Gorontalo tidak populer dalam masalah radikalisme. Tapi data kami membuktikan lima besar daerah itu perlu dicermati," ujar pria yang juga imam besar Masjid Istiqlal itu.
Atas itu ia menekankan agar penanganan isu radikalisme tidak harus selalu terkonsentrasi ke wilayah yang kerap berkonflik. Salah satunya seperti Poso di Sulawesi Tengah.
Sebab dalam faktanya, justru wilayah yang pernah menjadi basis kelompok teror Mujahidin Indonesia Barat pimpinan Abu Wardah alias Santoso itu, menjadi daerah paling rendah potensi radikalismenya.
"Kita tidak boleh meng-Kucingkan harimau, dan kita tidak boleh meng-Harimaukan kucing. Data data yang ditampilkan ini adalah sangat riil," kata Nazaruddin. (mus)