KPK: 80 Persen Distribusi Obat-obatan Menyalahi Aturan
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerima hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai perizinan dan pengawasan obat di Indonesia. Kajian itu selanjutnya akan dibahas dalam kurun waktu enam bulan ini, sebelum dibuat rencana aksi bersama, antara BPOM dan KPK.
Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza BPOM, Nurma Hidayati mengungkapkan, kedatangannya hari ini bersama rombongan untuk membahas kajian yang telah dilakukan oleh KPK.
Nurma menyebut KPK merupakan mitra untuk mengawal BPOM dalam melakukan kegiatan pengawasan obat dan makanan.
"KPK itu adalah mitra, mitra untuk Badan POM, untuk mengawal kami, supaya kami tetap clean governance. Tentu sangat berharga, kami dijagain, supaya tetap di dalam koridornya," kata Nurma di kantor KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 24 Oktober 2017.
Nurma melanjutkan, kajian dari KPK ini adalah salah satu bentuk pencegahan korupsi di BPOM. Ia menyadari kegiatan BPOM dalam mengawasi obat dan makanan ini bersentuhan dengan pihak luar, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Oleh karena itu, dukungan dari KPK sangat membantu untuk mengantisipasi penyelewengan yang dilakukan jajarannya.
"Kami juga kan ada di daerah-daerah. Tentu salah satunya terkait perizinan, bagaimana perizinan tersebut bisa tetap sesuai dengan kaidah-kaidah pemerintahan yang bersih dan akuntabel," kata Nurma.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, menuturkan, dari hasil kajian KPK terdapat sejumlah temuan soal peredaran obat dan kegiatan pengawasan yang dilakukan BPOM selama ini. Terutama mengenai perizinan.
"Ada beberapa hasil penelitian ini, antara lain bagaimana supaya peredaran obat itu bisa dibatasi, seperti itu," kata Basaria dalam kesempatan sama.
Basaria menambahkan, dari hasil kajian juga ditemukan adanya duplikasi obat dari merek yang sama. Selain itu, ada temuan obat dengan komposisi sama, namun harganya berbeda sampai dua hingga 80 kali lipat.
"Nah, ini yang harus dikaji kembali bersama-sama dengan KPK, sebagai pendamping, ada hal-hal itu, regulasi yang harus dibenahi," ujarnya.
Purnawirawan Jenderal Polisi bintang dua itu mengatakan, kajian KPK juga menyasar soal biaya peninjauan tim BPOM ke luar negari. Kajian tersebut membahas mengenai biaya dari tim BPOM, apakah berasal dari anggaran negara atau diberikan oleh pihak ketiga.
Selain itu, kajian KPK menyoroti pengawasan obat yang sudah beredar di pasaran. KPK dalam masalah ini menemukan fakta bahwa temuan dari tim BPOM kerap tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah terkait.
Tujuan kerja sama bersama BPOM ini, kata Basaria, untuk melahirkan formula yang baik sehingga pengawasan di daerah tetap berjalan baik dan pemerintah daerah yang tidak mematuhinya bisa diberikan sanksi tegas.
"Sehingga semua tindakan-tindakan di daerah tersebut dapat dievaluasi secara bertahap, temuan-temuan atau kesalahan-kesalahan nanti harus diberikan sanksi yang tegas. Nanti diatur," kata Basaria.
Basaria mengungkapkan, dari pemantauan selama ini, KPK juga melihat masalah dalam distribusi obat. Sebanyak 80 persen tidak mematuhi peraturan yang ada, bahkan cuma 15 persen kegiatan distribusi obat yang telah bersertifikat.
"Sudah tentu kajian ini tak langsung harus dilaksanakan, tapi nanti ada kerja sama. Kami minta waktu enam bulan Bu ya, akan dibuatkan rencana aksi untuk pembenahan-pembenahan ke depan. Jadi hasil kajian tersebut sudah kami berikan secara resmi kepada Kemenkes dan juga ke Badan POM. Selanjutnya nanti kami membuat rencana aksi enam bulan ke depan," kata Basaria diamini Nurma.