Peran Kiai Dianggap Tak Lagi Dominan di Pilkada Jatim

Kepala Laboratorium Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Faza Dora Nailufar.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faishal

VIVA.co.id - Partai Gerindra belum memutuskan nama calon yang akan didukung pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018. Tetapi, sama dengan partai lain, partai besutan Prabowo Subianto itu mempertimbangkan suara Nahdlatul Ulama sebagai basis kultur provinsi ujung timur Pulau Jawa.

Pilgub Jatim kali ini memang kental dengan NU. Kandidat kuat merupakan kader NU yang terkenal, yakni Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf alias Gus Ipul. Khofifah, selain Menteri Sosial, kini menjabat Ketua Umum Muslimat NU, sementara Gus Ipul, selain Wakil Gubernur Jatim, adalah salah satu ketua di Pengurus Besar NU.

Sejak awal, Gus Ipul mempromosikan diri dengan ke-NU-annya. Begitu pula dengan Partai Kebangkitan Bangsa, partai yang kali pertama menyatakan mendukung Gus Ipul. Keputusan PKB kepada Gus Ipul diawali cerita surat-suratan 21 kiai NU ke pimpinan PKB Jatim. Kesan yang muncul, Gus Ipul calon dari NU.

Tetapi Sekretaris Gerindra Jatim, Anwar Sadat, melihat NU dari sisi yang lain. Menurutnya, NU kini harus dipahami secara luas, bukan sekadar simbol dan institusi semata. NU, katanya, harus dilihat sebagai sistem nilai yang merasuk ke seluruh sel-sel masyarakat.

Dengan perspektif seperti itu, maka NU tetap menjadi besar. "NU melampaui karakteristik kemasyarakatannya," kata Sadat dalam Bincang Pilgub Jatim oleh Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama di Surabaya, Jawa Timur, pada Senin, 16 Oktober 2017.

Dengan begitu, kata Sadat, NU tidak bisa dikanalisasi. Berapa pun partai politik berdiri di negeri ini, di situ dipastikan ada kader NU. "Faktanya, dulu NU pernah mencoba mengkanalisasi menjadi partai, tapi tidak berhasil. Karena itu kebesaran NU tidak bisa dipahami sebagai ormas semata, tapi sistem nilai," katanya.

Berdasarkan pemikiran seperti itulah Gerindra akan menentukan siapa yang akan didukung menjadi calon Gubernur-Wakil Gubernur Jatim. Yakni sosok yang mewakili persepsi publik bahwa calon mengusung nilai-nilai Ahlussunnah Waljamaah Annahdliyah, bukan sebagai apa sang calon di struktur NU. "Inilah dasar pertimbangan Gerindra," ujarnya.

Secara konseptual, pertimbangan Gerindra dalam konteks NU dan Pilgub Jatim itu patut dipikirkan. Kepala Laboratorium Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Faza Dora Nailufar, mengatakan bahwa kultur NU dalam hal politik jauh berbeda dulu dan sekarang.

Patron-klien antara kiai dan santri di beberapa daerah meluntur dibandingkan dulu. "Sesuai survei, patronase kiai di beberapa daerah sudah mulai turun. Kenapa? Karena masyarakat melihat kiai sekarang tidak seperti dulu. Kiai ya kiai, politik ya politik," kata perempuan akrab disapa Dora itu.

Karena itu, Dora melihat suara NU dalam Pilgub Jatim kali ini akan mencair. Betul ada semacam loyalitas di masing-masing badan otonom dan kelembagaan NU yang secara emosional, misalnya anggota Muslimat ke Khofifah dan GP Ansor ke Gus Ipul. "Tapi ada juga Ansor yang memilih Khofifah dan Muslimat yang memilih Gus Ipul. Jadi NU saya rasa cair," ujarnya. (ase)