11 Kasus Penyimpangan Dana Desa Terjadi di Jawa Tengah
- Dwi Royanto (Semarang)
VIVA.co.id – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menemukan 11 kasus penyimpangan dana desa di wilayahnya. Seluruh kasus itu kini telah diproses hukum.
"Dari desa-desa di Jawa Tengah, kami kumpulkan ada kurang lebih 11 kasus dikelola yang banyak penyimpangan. Seluruhnya telah diproses hukum, " kata Ganjar saat seminar regional Dinamika dan Problematika Tata Kelola desa dengan Komite I DPD RI di Semarang, Selasa, 3 Oktober 2017.
Menurut Ganjar, rata-rata penyimpangan terkait kegiatan fiktif namun tidak ada pembangunan, mark up harga, mark up barang, mark up jumlah, belanja fiktif, serta penggunaan anggaran untuk pribadi dan golongan.
"Waktu kita di Kabupaten Purworejo ditemukan ada 14 desa, mereka ciri-ciri pelanggarannya seperti itu. Itu yang jadi masalah hukum. Maka itu yang harus kita sampaikan, " ujar Ganjar.
Kemudian, dari sampel data laporan Badan Pengawas Keuangan (BPK) pada 120 desa di empat kabupaten juga terindikasi menyimpang. Sampel BPK tersebut berada di Kabupaten Brebes, Grobogan, Temanggung dan Jepara.
Indikasi penyimpangan itu mulai dari bukti-bukti pengadaan yang tidak dilampirkan, volume pekerjaan tidak sesuai data, rendahnya SDM serta pengelolaan keuangan dana desa kurang baik.
Atas hal itu, Ganjar meminta agar kasus tersebut bisa menjadi perhatian serius semua pihak. Di sisi lain banyak juga desa-desa di Jawa Tengah yang ternyata justru bagus transparasi keuangan serta pembangunan yang terarah.
"Maka saya sering sampaikan, ini lho ada desa-desa bagus yang bisa jadi studi banding. Maka jangan diulang hal-hal seperti itu (penyimpangan), " ujarnya.
Lebih jauh Ganjar menginginkan agar ada penyederhanaan administrasi keuangan di tingkat desa. Sebagai contoh penyederhanaan laporan keuangan yang tidak terlalu banyak namun efektif.
"Laporan keuangannya mbok dua lembar saja. Jangan banyak-banyak. Nah, ini kita lobikan agar di tingkat kebijakan dan regulasi nasionalnya bisa lebih mudah, " tutur dia.
Selain kasus dana desa, Ganjar menyebutkan ada masalah lain yakni terkait biaya pengurusan sertifikat tanah (prona). Menurut Ganjar, Surat Keputusan Bersama Menteri yang mematok biaya prona sebesar Rp150 ribu banyak menuai polemik di lapangan. Bagi perangkat desa, biaya itu sangat kurang sehingga mau tidak mau pungutan liar terjadi.
"Nah yang paling pas berapa, tadi Temanggung usul Rp300 ribu. Waktu saya assesment tadi Rp400- Rp450 ribu, ini harga yang paling cocok. Dan rakyat mau membayar. Ini yang perlu dilegalkan agar tidak akan muncul persoalan hukum, " katanya.
Ketua Komite I DPD RI, Achmad Muqowam, berharap agar seminar bersama seluruh pemangku kepentingan terkait pelaksanaan Undang–Undang Desa ini akan membawa pengetahuan yang komprehensif. Utamayanya akan mendorong pelaksanaan UU Desa secara benar.
Komite I mencatat terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi UU Desa. Pertama, kurang optimalnya koordinasi antar instansi Pemerintah baik secara vertikal maupun horisontal.
Kedua, kurang optimalnya fungsi pengawasan dan pembinaan. Peran pembinaan dinilai sangat minim dan sebaliknya peran pengawasan dinilai sangat berlebihan melalui fungsi yang dilaksanakan oleh beberapa instansi sekaligus; dan ketiga, perlu dilakukannya reformulasi Dana Desa agar lebih sesuai dengan roh UU Desa itu sendiri. (hd)