Polisi Tutup Seluruh Tambang Pasir, Warga NTT Unjuk Rasa

Aksi unjuk rasa penutupan tambang pasir di NTT
Sumber :
  • Viva.co.id/Jo Kenaru

VIVA.co.id – Mahasiswa bersama ratusan warga menggelar aksi unjuk rasa di Mapolres Manggarai Nusa Tenggara Timur, Rabu, 30 Agustus 2017.

Mereka mendesak polisi membebaskan enam warga Desa Ranaka Kecamatan Wae Ri’i yang ditangkap dari lokasi tambang pasir Wae Reno yang ditahan sejak 18 Agustus 2017 lalu.

Pengunjuk rasa menilai tindakan polisi yang menutup lokasi tambang galian C dan menahan sejumlah pemilik lahan pasir merupakan kejahatan kemanusiaan.

“Para pemilik lahan pasir tidak paham regulasi. Mestinya polisi melakukan sosialisasi atau pendekatan terlebih dahulu. Jangan malah main segel dan tahan orang,” ungkap Patris Agat, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng sekaligus Korlap aksi tersebut.

Menurut pengunjuk rasa, penyegelan seluruh lokasi tambang pasir di Kabupaten Manggarai oleh polisi merupakan tindakan merugikan banyak pihak.

“Masyarakat yang sedang membangun rumah jadi susah, kemudian proyek-proyek pemerintah terbengkalai dan masyarakat setempat kehilangan pekerjaan sebagai penggali pasir,” sambung Patris dalam orasinya.

Dalam pernyataan sikapnya, pendemo meminta polisi membebaskan tahanan dan membuka akses bagi warga agar bisa mengais rezeki di lokasi-lokasi tambang pasir.

Selain itu, demonstran meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian mencopot Kapolres Manggarai, AKBP Marselis Sarimin.

Pengunjuk rasa juga menyinggung bangunan kantor Polres Manggarai yang dibangun pada tahun 2015 lalu, di mana ribuan kubik batu dan pasirnya bersumber dari lokasi tambang pasir Wae Reno.

“Ini kantor polisi beserta rumah dinas Kapolres serta asrama polisi memakai pasir Wae Reno. Tapi kenapa sekarang polisi ini menutup seluruh lokasi penggalian pasir di daerah ini,” seru Korlap dari atas mobil pick-p.

Diketahui, Polres Manggarai Nusa Tenggara Timur menutup seluruh lokasi tambang pasir di Kabupaten Manggarai sejak 18 Agustus 2017 lalu.

Dalam perjalananya, polisi menetapkan enam orang pemilik lokasi penggalian pasir sebagai tersangka. Tercatat, belasan truk pengangkut pasir, dua alat berat dan mesin giling batu diamankan di Mapolres Manggarai.

Polisi berdalil, keberadaan seluruh lokasi penambangan pasir di wilayah itu tidak berizin sehingga melanggar Undang-undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dua undang-undang ini memiliki ancaman pidana berbeda, yakni 10 tahun penjara untuk UU Minerba serta ancaman tiga tahun bui jika melanggar UU Lingkungan Hidup.

Ditemui terpisah, Bupati Manggarai, Deno Kamelus mengaku prihatin dengan penutupan seluruh lokasi tambang di wilayah itu.

Namun demikian Bupati Deno tidak akan mengintervensi penegakan hukum meski enam orang warganya dijadikan tersangka dan ditahan karena tidak memiliki izin penambangan pasir. Sebaliknya, Deno Kamelus tidak menginginkan terjadinya stagnasi pembangunan mengingat lebih dari 30 paket proyek telah ditenderkan namun belum bisa dieksekusi karena ketiadaan material pasir dan batu.
 
Belum lagi, kata Deno, perbaikan 500 unit rumah untuk warga miskin yang butuh penanganan segera mandek karena ketiadaan material.

“Saya tengah berpikir keras agar tidak terjadi stagnasi pembangunan. Saya sudah koordinasi dengan Gubernur NTT berkaitan dengan kejadian mandeknya sejumlah proyek pemerintah,” ujar Deno Kamelus.

Selain itu, Bupati Deno telah menyiapkan laporan kepada Kementerian Keuangan perihal tersendatnya penyerapan anggaran yang ditransfer dari pusat.

“Mestinya akhir Agustus ini penyerapan DAK sudah mencapai 70 persen namun dengan kejadian seperti ini dipastikan penyerapan dana untuk kebutuhan infrastruktur terganggu,” katanya. (ase)

(Laporan: Jo Kenaru NTT)