Bupati Klaten Non Aktif Dituntut 12 Tahun Penjara

Bupati Klaten, Sri Hartini, saat ditahan KPK karena diduga menerima suap.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

VIVA.co.id – Bupati Klaten non-aktif Sri Hartini didakwa bersalah dalam kasus suap dan gratifikasi. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Sri Hartini dengan hukuman 12 tahun penjara.

Tak hanya tuntutan itu, bupati yang terjaring operasi tangkap tangan KPK pada Desember 2016 silam itu, juga dibebani membayar denda Rp1 miliar, serta denda subsider sebesar Rp2,5 miliar.

Jaksa Penuntut Umum dari KPK, Avni Carolina, dalam sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Semarang menyebut, Sri Hartini terbukti bersalah dalam tindak pidana korupsi. Ia didakwa terbukti menerima suap dalam pengisian Struktur Tata Organisasi Kerja (SOTK) di kabupaten Klaten senilai Rp2,9 miliar, serta gratifikasi senilai Rp9,8 miliar.

Atas dakwaan itu, terdakwa dinyatakan terbukti melanggar dua dakwaan alternatif. Pertama, didakwa melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Kedua, terdakwa melanggar pasal 12 huruf b Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang tipikor jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

"Uang yang diterima terdakwa sudah kami kroscek di dalam persidangan, totalnya Rp12, 8 miliar. Dan, masih ada selisih Rp735 juta baik dari suap maupun gratifikasi," katanya, Senin 28 Agustus 2017.

Jaksa membeberkan, uang suap yang diterima terdakwa terjadi dalam rentang periode Juli hingga Desember 2016. Bahkan, oleh sejumlah pejabat di Klaten uang suap kepada bupati itu lazim disebut uang syukuran, saat menginginkan jabatan tertentu.

Sedangkan uang gratifikasi yang diterima terdakwa, berkaitan sejumlah hal. Mulai dari pencairan dana bantuan keuangan desa, titipan dalam penerimaan calon pegawai di BUMD, mutasi kepala sekolah, serta fee, atau imbalan proyek di  dinas pendidikan Klaten.

Menurut Avni, tuntutan pihaknya telah melalui berbagai pertimbangan. Salah satunya hal yang memberatkan, di mana Sri Hartini tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pola pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Adapun hal yang meringankan, lanjut dia, terdakwa telah bersikap kooperatif selama persidangan termasuk mengakui serta menyesali perbuatannya.

Atas tuntutan itu, Sri Hartini melalui pengacaranya Deddy Suwandi mengaku terkejut dan keberatan. Menurutnya, tuntutan jaksa di luar prediksi sebelumnya.

"Saya pikir, awalnya di bawah 10 tahun saja. Tetapi, kenapa malah di atasnya. Kami akan mengajukan keberatan pekan depan. Apalagi, klien kami sudah mengakui semuanya, " kata Deddy.

Ketua Majelis Hakim Tipikor Semarang, Antonius Widjantono, lalu memberi kesempatan terdakwa untuk menyampaikan pembelaan yang disampaikan pada sidang pekan depan.