Punya Nama Baru, 'Pak Ogah' Bakal Digaji UMR
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id – Dalam sebuah survei, Jakarta dinobatkan sebagai kota terburuk dalam hal kemacetan lalu lintas. Ibu kota negara ini menempati posisi keempat setelah Bucharest Rumania, Mexico City, dan Bangkok Thailand di posisi pertama.
Status buruk ini, menurut pengamat lalu lintas dari TomTom, Nick Cohn, sebagai 'korban' atas kesuksesan sebuah kota besar dalam membangun ekonominya.
"Ini akan menjadi tantangan bagi setiap pemerintah kota dalam menata daerah mereka," kata Cohn akhir Februari 2017 lalu.
Kemacetan Jakarta bukan cerita baru. Menggerutu soal ini bak sia-sia. Tiap jalan, sudut, gang bahkan ada kemacetan. Magnit ibu kota memang luar biasa, tak cuma orang, kendaraan pun ikut tersedot.
"Anda tahu, terbang dari Jakarta ke Bangkok cukup hanya 3,5 jam. Tapi orang di Jakarta habiskan waktu itu hanya untuk kemacetan," ujar Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves, medio Juni 2016.
FOTO: Suasana kemacetan di DKI Jakarta
Atas itu, dalam riset Bank Dunia, kerugian akibat kemacetan di Jakarta memang memprihatinkan. Bahkan kerugian ditaksir akibat masalah ini mencapai US$3 miliar setahun atau setara dengan Rp39,9 triliun.
"Dana ini bisa digunakan untuk pembangunan MRT (kereta cepat) di satu wilayah," ujar Chaves.
Angka yang dilaporkan Chaves itu memang menakutkan. Namun mau tak mau fakta itulah yang dihadapi mereka yang hidup di Jakarta. Bisa dibayangkan jika setiap tahun uang senilai Rp39,9 triliun itu menguap begitu saja bersama asap mobil dan motor. Menyakitkan.
FOTO: Pengendara sepeda motor memenuhi ruas jalan di Jakarta
Data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2013 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah menembus angka 16,07 juta. Sementara jumlah panjang jalan hanya ada 6,95 juta meter.
Tentu jumlah ini masih bisa bertambah. Sebab data terakhir pada tahun 2015 yang dirilis Polda Metro Jaya, jumlah sepeda motor saja sudha menembus angka 14 juta. Belum ditambah mobil, bus dan lain-lain.
Yang jelas, dengan kondisi itu maka maklum jika rata-rata orang yang tinggal di Jakarta membutuhkan waktu lebih dari 3,5 jam hanya untuk perjalanan menuju dan pulang ke rumah dari tempat kerja.
Si Polisi Cepek
FOTO: Salah satu potret kemacetan di Jakarta
Apa pun itu, kemacetan Jakarta sudah menjadi momok bagi siapa pun yang tinggal di kota ini. Mengumpat soal ini malah tak akan memberi jawaban juga.
Kepolisian saja sudah kewalahan untuk mengatasi ini. Sedikitnya personel jelas menjadi masalah besar. Ditambah lagi rendahnya kepatuhan pemilik kendaraan di Jakarta, lengkap sudah.
Namun yang pasti, tahun ini untuk pertama kalinya kepolisian berencana menggandeng para penguasa jalan dan tikungan, yakni 'Pak Ogah' atau si 'Polisi Cepek'.
Sosok mereka yang kerap berdiri di simpang jalan kecil atau pun ruas jalan yang ramai kendaraan dengan modal peluit ini rupanya kini mendapat tempat dalam urusan kemacetan Jakarta.
FOTO: Proyek pembangunan jalan yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan lalu lintas
Meski kadang memang ada sejumlah Pak Ogah yang arogan dan serampangan mengutip uang. Namun memang harus diakui, mereka cukup membantu dalam hal mengatur lalu lintas.
Atas itulah kini bisa dikatakan 'berbahagialah para Pak Ogah'. Maklum jasa tak tercatat mereka di berbagai ruas jalan, kini diakui. Mereka pun diberikan nama baru oleh polisi.
"Supertas, Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas," ujar Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Halim Pagarra, Jumat, 21 Juli 2017.
Pengakuan ini pun tak cuma sebatas nama. Menurut Halim, ke depan para Pak Ogah ini akan diberikan seragam khusus dan yang lebih mengejutkan lagi adalah diberi upah atau gaji per bulan.
"Kami minta beberapa perusahaan untuk menggaji mereka melalui CSR (Corporate Social Responsibility)," ujar Halim.
Ya, Pak Ogah atau Polisi Cepek kini diakui. Mereka yang kerap menjadi 'raja simpang jalan' ini boleh patut berbangga. Tinggal lagi sejauh mana menjaga komitmen bahwa mengurai kemacetan tetap jadi nomor satu.
Sebab, jangan sampai gaji didapat, cepek dipungut namun macet malah tambah parah. Dan pastinya di luar itu, komitmen pemerintah untuk menambah infrastruktur transportsi di Jakarta harus menjadi hal terpenting.
Tanpa ini, apalah artinya pasukan 'Pak Ogah' dan para polisi yang setiap hari 'menenggak debu' dan asap di jalan macet.
"Tahun ini kami kebut pembangunan infrastruktur di Jakarta. Mulai dari yang sudah MRT, LRT, kami bangun underpass, fly over, sampai dengan perlintasan sebidang. Ini kan ranahnya pada lalu lintas. Kami antisipasi," kata Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menjawab masalah ini. Jadi, mari kawal.