Sejak 2016 Teroris Lupakan Telegram, Mengapa Baru Diblokir
- REUTERS/Dado Ruvic
VIVA.co.id – Sejak tahun 2016, kelompok teror di Suriah atau ISIS telah meninggalkan aplikasi Telegram untuk alat komunikasi mereka.
Pernyataan itu bahkan telah dituangkan oleh Bahrun Naim, warga negara Indonesia yang dipercaya menjadi perekrut angggota ISIS untuk wilayah Asia Tenggara lewat laman website-nya yang telah diblokir pemerintah pada tahun 2016.
Seperti pernah dilansir VIVA.co.id pada Desember tahun lalu, Bahrun Naim lewat blog-nya menyebut bahwa Telegram memang sempat menjadi alat komunikasi mereka.
Namun karena tak terjamin keamanannya, mereka akhirnya meninggalkan aplikasi itu. "Penggunaan aplikasi telegram yang sebenarnya sudah tidak menjadi standard komunikasi kami lagi," tulis Bahrun Naim dikutip VIVA.co.id dalam laman blog-nya medio Desember tahun lalu.
FOTO: Tampilan halaman blog milik Bahrun Naim yang kembali aktif pada bulan Desember 2016
Menurutnya, ada dua alasan jaringannya tak lagi menggunakan Telegram. Pertama, aplikasi itu menggunakan data komunikasi plain text. Sehingga jika terdapat exploit atau kode yang menyerang keamanan dari telepon seluler, semua data percakapan bisa langsung terbaca.
Selain itu, mereka meragukan keamanan aplikasi ini sehingga ada rekomendasi untuk meninggalkan komunikasi via aplikasi itu. (Baca: Lewat Blog, Bahrun Naim Ungkap Alasan Tinggalkan Telegram)
Game Online
Lima bulan setelah teror bom Thamrin di pusat Jakarta. Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) sempat menyampaikan modus baru para teroris berkomunikasi kepada jaringannya.
Modus komunikasi ini bahkan terbilang unik dan diakui sulit dilacak oleh kepolisian. Apa itu?
Menurut Deputi I BNPT Mayor Jenderal TNI Abdul Rahman Kadir modus komunikasi kelompok teroris saat ini adalah dengan memanfaatkan permainan game online.
Umumnya mereka menggunakan forum chatting atau mengobrol untuk kegiatan terornya. "Mereka seolah chatting (mengobrol) permainan perang, tapi sebenarnya dipakai untuk berkoordinasi," ujar Abdul di Sidoarjo akhir Mei 2016.
Abdul mengakui selama beberapa waktu ini kelompok teror di Indonesia memang menggunakan jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, atau pun Telegram untuk berkomunikasi menyampaikan informasi dan doktrin mereka.
FOTO: Ilustrasi/Layanan internet
Namun demikian, perlahan pola itu pun diubah lantaran media sosial mudah dilacak dan diendus oleh kepolisian. Sehingga kemudian dimanfaatkanlah modus menggunakan forum chatting di game online.
"Kita sulit mendeteksinya, karena mereka seolah-olah bermain game," ujar Abdul saat itu. (Baca: BNPT Temukan Modus Baru Cara Teroris Berkoordinasi)
Dan kini, tepat setahun berjalan. Pemerintah Indonesia baru memutuskan memberikan sanksi keras kepada Telegram untuk diblokir.
Dalih pemerintah bahwa Telegram memang telah beberapa kali diingatkan soal layanan mereka yang kerap memberi ruang untuk tindak terorisme. Catatan pemerintah ada belasan kasus terorisme di Indonesia yang memang berkaitan dengan kemudahan akses di Telegram.
"Selama dua tahun terakhir ada 17 (kasus terorisme)," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Tito mengaku bahwa secara prinsip pemerintah tak ingin memblokir Instagram. Namun memang ada keinginan negara untuk mendapat akses agar bisa membantu menangani aktivitas kelompok teroris di jejaring sosial yang didirikan oleh Pavel Durov tersebut.
"Tolong kami bisa diberi akses kalau sudah menyangkut urusan terorisme, keamananan, kami diberi akses untuk tahu siapa itu yang memerintahkan untuk ngebom. Siapa itu yang menyebarkan paham radikal," katanya.
FOTO: Kapolri Jenderal Tito Karnavian
Apa yang disampaikan oleh Tito tersebut sepertinya sinkron dengan yang disampaikan oleh Pavel Durov, sang pendiri Telegram.
Aplikasi asal Rusia ini pun mengakui sudah meminta maaf ke Indonesia atas kelalaian mereka merespons pemerintah Indonesia terkait tindak terorisme di layanan aplikasi mereka.
Atas itu, Pavel pun berjanji akan bekerjasama dengan pemerintah untuk ikut membantu proses penanganan tindak terorisme di Instagram.
“Dia (Durov) sudah minta maaf ke kita. Karena tidak tahu kalau kita sudah menghubungi mereka sejak tahun lalu dan mengusulkan beberapa perbaikan proses penanganan konten-konten negatif seperti radikalisme dan terorisme,” ujar Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara.